Selasa 22 May 2018 20:37 WIB

Moeldoko: RUU Soal Keamanan Negara Jangan Dipolitisasi

RUU Antiterorisme untuk kepentingan bersama.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Karta Raharja Ucu
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko
Foto: Republika/M Nursyamsyi
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik Rancangan Undang-Undang Antiterorisme masih berlanjut. Kepala Staf Presiden Jenderal Purnawirawan Moeldoko meminta UU yang berkaitan dengan keamanan ini tidak dipolitisasi para politikus.

"Sebenarnya UU yang berkaitan dengan keamanan dan pertahanan itu jangan ada politisasi. Karena dalam konteks itu, tidak ada oposisi, semuanya untuk kepentingan bersama. Jadi, jangan dipolitisasi," kata Moeldoko di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Selasa (22/5) petang.

Ia pun berharap, RUU ini dapat segera diteken. Saat ini, permasalahan definisi terorisme masih membayangi pengesahan RUU Antiterorisme ini. Namun, menurut Moeldoko, Presiden Joko Widodo juga sudah meminta klarifikasi ke kementerian terkait agar dapat menyelaraskan permasalahan tersebut.

"Presiden sudah tanya ke menkumham untuk segera diselaraskan. Kita berharap segera selesai ya," ucap Moeldoko.

Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal TNI Muhammad Nakir menuturkan, RUU tersebut memandang teroris sebagai suatu tindak pidana, lalu terorisme sebagai ancaman negara dan keamanan nasional. Bila terorisme dipandang sebagai ancaman keamanan nasional, sesuai UU nomor 3 pasal 7 ayat 2, TNI menjadi komponen yang bisa dilibatkan dalam operasi kontra terorisme.

"Dengan melihat dua sisi tersebut saya kira bisa di dalam pelaksanaannya," ujarnya di Jakarta Pusat, Selasa. Nakir menambahkan bahwa pemerintah menghendaki UU nanti bagaimana agar tidak hanya bersifat tindakan, tetapi juga pencegahan.

Sementara itu, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto kembali mengungkapkan, selama ini hambatan Polri dalam melakukan upaya pencegahan adalah UU yang bersikap responsif. Artinya, Polri hanya bisa melakukan penangkapan bila terduga teroris mulai bergerak. Sehingga, pencegahan aksi teror kurang maksimal.

RUU yang baru ini diharapkan bersifat proaktif, yang artinya Polri bisa melakukan penangkapan pada terduga teroris yang telah didapatkan datanya dari intelijen. "Mulai dari Sabang sampai Merauke kita tahu orangnya siapa saja. Kita seperti lihat saja, tapi tidak boleh lakukan penindakan, itu pun tidak cukup, kalau tidak ada barbuk tujuh hari lepas maka ada rekomendasi agar RUU ini segera disahkan karena aksi teror gak akan berhenti," kata Setyo.

Direktur Imparsial Al Araf berharap, meski Polri memiliki wewenang lebih dalam RUU Antiterorisme nantinya, Polri benar-nenar menetapkan proses hukum yang baik. Sehingga, ekses pelanggaran hak asasi manusia dapat ditekan. "Melawan teror dengan cara teror tidak akan selesai. Dengan due process of law yang benarlah kita bisa selesaikan," kata Al Araf.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement