REPUBLIKA.CO.ID, GYEONGGI -- Komunitas Muslim di Korea Selatan (Korsel) kaya dengan keberagaman latar belakang etnis dan budaya. Komunitas Muslim di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Budha ini, sebagian besar adalah keturunan mualaf yang masuk Islam saat berlangsung perang Korea.
Sebagai kelompok masyarakat minoritas, masjid menjadi tempat penting bagi Muslim Korsel. Masjid juga menjadi pusat informasi bagi warga Korea yang ingin belajar Islam.
Masjid-masjid di Korsel menyediakan bahan-bahan bacaan dan audio yang diberikan gratis bagi mereka yang ingin mempelajari Islam. Sepuluh tahun yang lalu, belum banyak masjid di negara ini.
Tapi sekarang, masjid-masjid banyak tersebar hampir di seluruh kota besar di Korsel. Salah satunya adalah Masjid Al-Ikhlas yang berlokasi di Uijeongbu dong.
Tempat ini rutin menggelar iftar bersama. Banyak wajah-wajah Arab, India, Pakistan, Bangladesh serta negara pecahan Rusia seperti Uzbekistan dan Tajikistan ikut serta dalam acara tersebut.
Saat libur, Masjid al-Ikhlas Yongin yang terletak di kawasan Gyeonggi itu lebih ramai dari biasanya. Tidak hanya untuk berbuka puasa, tapi juga kegiatan lain.
"Ada yang malah memilih tidur di masjid dan mengikuti kegiatan kegiatan keislaman sepanjang hari dibandingkan berdiam diri di mes mereka di pabrik," kata seorang pengusaha asal Pakistan yang sudah 10 tahun tinggal di Korsel, Haseeb Ahmad Khan.
Muslim Korea Selatan
Saat jamaah sudah berkumpul dan bersiap berbuka puasa, Dai Ambassador Corps Dompet Dhuafa untuk Korsel di Masjid al- Ikhlas Yongin, yaitu Ustadz Alnof Dinar menyampaikan tausiyah singkat dalam tiga bahasa Arab, Indonesia dengan selingan bahasa Inggris.
"Saya selalu merasakan kehangatan kekeluargaan disini, saya merasa nyaman dan merasa berada di keluarga sendiri," kata dia seperti dilansir siaran pers yang diterima Republika.co.id.
Baginya, makan bersama di satu nampan besar sangat berkesan sehingga sulit dilupakan. Tradisi makan bersama di satu nampan ini memang biasa dibawa oleh komunitas Muslim Indonesia.
"Saat makan itu saya bisa berdialog dengan Muslim dari Indonesia dan bangsa lain, berasa dekat dan bersahabat diantara satu sama lain," kata seorang pengunjung masjid yang merupakan pekerja asal Kamboja, Badri.
Menurut Ustaz Altof Dinar, Dompet Dhuafa melalui Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) rutin mengirimkan dai ke luar negeri secara berturut-turut sejak 2013. Korsel adalah salah satu tujuan para dai.
Demi menunjang pengetahuan dan kemampuan sebelum penugasan, setiap dai mendapatkan pembekalan materi terkait beberapa hal, seperti pembahasan ZISWAF, pendekatan psikososial, gerakan filantropi global, fiqh ikhtilaf, diplomasi kemanusiaan serta kunjungan ke program pemberdayaan Dompet Dhufa.
"Program Dai Ambassador Dompet Dhuafa bermitra dengan berbagai institusi dan komunitas, di antaranya KBRI dan KJRI, NGO lokal, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), dan kantor perwakilan Dompet Dhuafa di luar negeri," kata Ustaz Altof.
Selama penugasan, para dai berwenang melaksanakan kajian keislaman, menjadi imam shalat tarawih hingga shalat Ied, pembinaan mualaf, syiar zakat, pengembangan jaringan dakwah internasional, juga menginisiasi Islamic Learning Center di berbagai negara.
Ia menerima mandat sebagai diplomat kemanusiaan untuk masyarakat dunia atas nama Indonesia. Ini sesuai dengan kampanye Dompet Dhuafa dengan tagline 25 Tahun Membentang Kebaikan. Ini menjadi gerakan yang tumbuh dari tahun ke tahun dalam membangun kesejahteraan masyarakat miskin maupun kemanusiaan di seluruh Indonesia ataupun belahan dunia.
Dompet Dhuafa adalah lembaga nirlaba milik masyarakat indonesia yang berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf). Selama 25 tahun, Dompet Dhuafa telah memberikan kontribusi layanan bagi perkembangan ummat dalam bidang sosial, kesehatan, ekonomi, dan kebencanaan serta CSR.