Rabu 23 May 2018 00:58 WIB

Soal Definisi Terorisme, Ketua Pansus: Harus Diatur Ketat

Syafi'i beralasan perlu ada definisi untuk membatasi kewenangan Densus 88.

Rep: Ali Mansur/ Red: Ratna Puspita
Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Syafi'i
Foto: Singgih Wiryono/Republika
Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Syafi'i

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Ketua Pansus Revisi Undang-Undang Antiterorisme Muhammad Syafi'i mengatakan definisi terorisme harus diatur dengan ketat. Sebab, dia mengatakan, definisi merupakan hal krusial dan harus mendapat kesepakatan dari semua pihak yang berkepentingan.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu mengatakan peta perbedaannya hanya terletak pada frasa 'gangguan keamanan' serta 'motif ideologi dan politik' dalam definisi terorisme. Namun, dia mengatakan, Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menolak penambahan frasa terkait motif dalam pembahasan RUU Antiterorisme. 

Densus 88 beralasan, kata Syafi'i, definisi yang memuat ‘motif ideologi dan politik’ akan akan mempersempit ruang gerak mereka menanggulangi terorisme. Namun, dia mengatakan, panglima TNI, menteri pertahanan, menkopolhukam, kapolri, dan pakar sudah menyetujui penambahan frasa itu. 

“Jadi kami heran kalau kemudian dalam rapat itu pihak Densus menolak. Ada apa?" kata politikus Partai Gerindra ini saat dikonfirmasi, Selasa (22/5).

Syafi'i menuturkan penambahan frasa digunakan sebagai batasan tindak pidana terorisme dan tindak pidana umum. Pembatasan ini perlu dilakukan untuk membatasi kewenangan Densus 88 dalam melakukan penindakan serta mencegah pelanggaran selama pelaksanaan Undang-undang. 

Jika tidak maka dapat mengakibatkan tindakan subversif. "Apalagi ini di negara hukum, sehingga aparat penegak hukum itu dasarnya tidak ada kewenangan apapun, kecuali yang diberikan oleh hukum itu sendiri," paparnya.

Syafi'i berpendapat, pelaksanaan penindakan terorisme di lapangan kerap melenceng dari ketentuan KUHAP dan rawan melanggar HAM. Sebagai contoh, yaitu kasus penangkapan Siyono hingga meninggal dunia.

Ketika itu, dia mengatakan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai ada yang tidak wajar dalam kasus kematian Siyono. Saat itu, dia menerangkan, ada dugaan pelanggaran prosedur hukum dan administrasi saat Densus 88 menangkap dan menggeledah rumah almarhum. 

Baca Juga: Kontras: Polri Hakimi Siyono Tanpa Pengadilan

Harus di batang tubuh

Syafi'i mengatakan lembaganya juga menolak usulan pemerintah bahwa definisi tidak dimasukkan ke dalam norma. Pemerintah beralasan hal itu sebagai jalan tengah. 

Padahal, Syafi'i menjelaskan, dalam peraturan perundang-undangan, definisi itu harus masuk ke batang tubuh. Hal itu sesuai dengan Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang tata cara penyusunan Undang-undang.

Ketentuan umum tidak boleh ada dalam penjelasan. “Ini ketentuan umum, yaitu memberi batasan dan penjelasan tentang hal yang berulang di dalam pasal-pasal," tutur Syafi'i.

Kendati demikian, Syafii juga memastikan hasil pembahasan revisi Undang-undang Terorisme itu akan dibawa ke Rapat Paripurna, Jumat (31/5) pekan depan. Sebab, Syafi'i menyampaikan, saat ini sudah tidak ada pembahasan krusial. 

Kecuali terkait definisi, dia mengatakan pengesahan RUU Terorisme sudah mencapai 99,9 persen. "Kalau yang lainnya sudah beres, sudah 99,9 persen" ujar dia. 

Syafi'i juga mengharapkan Undang-undang ini ampuh untuk mencegah dan mengatasi kejahatan terorisme di Indonesia. "Insya Allah pada hari Jumat nanti bisa dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI untuk disetujui," kata Syafi'i.

Pada Selasa kemarin, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas terkait terorisme. Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diprioritaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Dengan UU tersebut, kata dia, kepolisian dapat melakukan penanganan dan pencegahan terorisme dengan lebih komprehensif. Ia mengatakan, dengan UU antiterorisme ini, penanganan dan pencegahan tindak pidana terorisme akan melibatkan banyak pihak. Namun, dia meyakinkan, pelaksanaannya tetap menghargai nilai-nilai demokrasi dan juga HAM.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius mengatakan, jika RUU ini telah disahkan, aparat keamanan nantinya bisa kembali memeriksa warga negara indonesia (WNI) yang telah pulang dari Suriah. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai upaya pemerintah meminimalisasi penyebaran paham radikal. 

Sebab, tidak sedikit aksi teror yang terjadi di dalam negeri ada kaitannya dengan mereka yang pulang dari Suriah. "Bisa kita investigasi. Jadi, mereka akan mikir dua kali kalau harus berangkat-berangkat (ke Suriah) gitu kan," ujar Suhardi, Selasa (22/5).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement