Rabu 23 May 2018 20:44 WIB

Saut: Mantan Koruptor Korupsi Lagi Terancam Hukuman Mati

KPU mengusulkan larangan caleg berstatus mantan narapidana korupsi ke PKPU.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Wakil Pimpinan KPK Saut Situmorang.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Wakil Pimpinan KPK Saut Situmorang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang memberikan tanggapan soal pelarangan mantan koruptor menjadi calon legislatif (caleg). Menurut dia, koruptor yang telah dihukum dan terbukti itu sudah menunjukkan siapa mereka sebenarnya.

"Bagi KPK, mereka sudah dihukum dan terbukti itu sudah menyatakan siapa mereka. Namun, kalau mereka bisa buktikan akan menjadi lebih baik, mengapa tidak. Siapa tahu mereka ingin menebus kesalahan di masa lalu," ujar dia kepada Republika.co.id, Rabu (23/5).

Bila kemudian orang tersebut melakukan tindak pidana korupsi lagi, papar Saut, tinggal dikenakan Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tipikor. Dengan begitu, yang bersangkutan terancam hukumam mati karena telah mengulangi perbuatan koruptif.

"Lagian kalau takut mereka korupsi lagi, ada pasal 2 UU Tipikor di mana pengulangan korupsi akan bisa dihukum mati," ujarnya.

Bunyi pasal 2 ayat 2 UU Tipikor itu adalah "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan".

Pada bagian penjelasan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan keadaan tertentu di antaranya pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Pada Selasa (22/5) kemarin, Komisi II DPR melakukan rapat dengar pendapat dengan KPU, Bawaslu, dan pemerintah. Salah satunya membahas PKPU tentang pencalonan DPR, DPD, dan DPRD. Dalam draf PKPU tersebut, ada satu pasal yang mengatur pelarangan terhadap mantan terpidana korupsi untuk mengikuti pencalonan legislatif pada Pemilu 2019.

Komisi II DPR, pemerintah, dan Bawaslu menyepakati agar pasal tersebut dikembalikan pada UU 7/2017. Sebab, aturan soal pelarangan mantan koruptor menjadi caleg itu bertentangan dengan UU Pemilu, tepatnya pasal 240 ayat 1 huruf g.

Pasal ini membolehkan mantan terpidana menjadi caleg asalkan secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Namun, menurut anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay, peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan anggota legislatif tidak akan bertentangan dengan pasal 240 ayat 1 huruf g Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu. Sebab, menurut dia, pengaturan pada pasal tersebut bersifat umum.

"Sebetulnya tidak. Pengaturan di pasal 240 itu kan sifatnya umum. Terpidana itu kan di dalamnya macam-macam. Ada terpidana korupsi, ada terpidana kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Jadi, bisa saja dilarang untuk bentuk tertentu, yang memang di UU Pemilu tidak disebutkan," katanya.

Apalagi, Hadar juga melihat adanya inkonsistensi pada DPR, pemerintah, dan Bawaslu. Sebab, mereka telah mengesahkan ketentuan pencalonan anggota DPD melalui PKPU 14/2018. Pasal 60 dalam PKPU ini antara lain mengatur bahwa mantan narapidana kasus korupsi dilarang mencalonkan diri menjadi anggota DPD.

Ketentuan itu jelas berbeda dengan keinginan DPR, pemerintah, dan Bawaslu dalam mengatur ketentuan pencalonan anggota legislatif. Padahal, penyusunan PKPU 14/2018 telah melalui konsultasi dengan DPR, pemerintah, dan Bawaslu. Artinya, tiga institusi tersebut telah menyetujui isi PKPU yang diundangkan pada April lalu itu.

"Di PKPU 14/2018, (mantan koruptor jadi caleg) itu dilarang. Kok saat itu tidak dipermasalahkan, sekarang dimasalahkan," ungkap dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement