REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengimbau pemerintah dan wakil rakyat di DPR RI untuk menyamakan persepsi dalam menghadapi terorisme di Indonesia. Menurut SBY, pemberantasan terorisme sangat penting untuk menjaga keamanan dan kenyamanan di Indonesia.
"Menghadapi terorisme kita harus bersatu dan miliki "mindset" yang sama. Pihak pemerintah dan oposisi juga harus memiliki sikap yang sama," tulis SBY dalam akun Twitter resminya, Rabu (23/5).
Ketua Umum Partai Demokrat itu meminta DPR dan pemerintah harus segera memberikan kepastian hukum, agar aparat dapat bekerja lebih efektif untuk memberantas terorisme dari hulu.
SBY memberikan dukungan penuh DPR dan pemerintah untuk merevisi UU Antiterorisme Tahun 2003 agar aparat penegak hukum lebih efektif melakukan pencegahan dan penindakannya terorisme kedepan. SBY mengatakan, Aparat harus memiliki kewenangan yang cukup untuk mendeteksi, mencegah dan menggagalkan rencana serangan teror.
SBY juga mengimbau kepada aparat penegak hukum dan militer yakni Polisi, TNI, intelijen harus saling bersinergi. SBY menilai tiga lembaga tersebut sama-sama punya peranan penting. Menurutnya, ada baiknya ketiga lembaga itu juga sama-sama meredam ego demi kelancaran tujuan utama mewujudkan keamaman dan kedaulatan negara.
"Kewenangan untuk menyadap dan menahan terduga teroris harus tepat dan benar. Jangan disalahgunakan. Jangan rakyat malah merasa "diteror"," ujar SBY.
Sebelumnya diberitakan, Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Antiterorisme bersama Pemerintah memutuskan membawa pembahasan definisi terorisme ke Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kamis (24/5) esok. Panja tim perumus Revisi UU Antiterorisme akan membawa dua alternatif definisi terorisme.
Dua alternatif definisi terorisme tersebut akan diputuskan dalam raker dengan Menkumham, sebelum akhirnya disetujui dalam rapat paripurna. "Pemerintah tidak bisa memutuskan (dua alternatif definisi). Oleh karena itu, secara terbuka dibawa besok saja. Kita raker besok, paling tidak malam ini perlu lapor. Kalau dua alternatif ini dibawa ke raker. Tinggal besok diputuskan," ujar Wakil Ketua Pansus Revisi UU Antiterorisme Supiadin Aries Saputra di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5).
Adapun dua alternatif definisi terorisme yang mengerucut di akhir pembahasan rapat Panja Tim Perumus Revisi UU Antiterorisme hari ini tidak lagi mempersoalkan penempatan definisi terorisme di dalam batang tubuh Undang undang atau penjelasan umum. Namun kedua pihak sudah menyepakati definisi terorisme masuk bagian batang tubuh Revisi UU Antiterorisme dengan pilihan alternatif satu dan dua.
Definisi alternatif satu yakni definisi terorisme tanpa menyertakan motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan sebagaiamana diinginkan Pemerintah sejak awal. Yakni terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban, yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Sementara alternatif dua, seperti halnya definisi terorisme alternatif satu, hanya ditambahkan frasa motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan. "Pemerintah itu kan alternatif pertama, namun mencermati perkembangam masukan kan itu ada motif, maka kami mengakomodir adanya alternatif dua, tapi ini biarkan alternatif seperti ini. Kita serahkan ke Raker esok," ujar Ketua Tim Panja Pemerintah Enny Nurbaningsih dalam rapat.
Baca juga: Definisi Terorisme dalam RUU Belum Final
Menurutnya, pilihan Pemerintah tetap pada sikap awal tidak menyertakan frasa motif dalam definisi terorisme. Sebab frasa motif ideologi, politik dan gangguan keamanan tanpa disertakan pun, tetap akan didalami dalam proses penuntutan.
Pernyataan itu juga dikuatkan oleh unsur jaksa yang turut hadir menjadi perwakilan Pemerintah dalam Rapat Panja tersebut. Perwakilan jaksa, Anita menyebut tanpa disertai definisi pun motif tindak pidana akan digali dalam proses penuntutan.
Namun ia melanjutkan, definisi yang di dalamnya terdapat motif justru membatasi penggalian tindak pidana tersebut. "Kami memang tidak alergi untuk dibuatkan definisi, namun definisi alangkah baiknya kalau memudahkan kami untuk melakukan penuntutan," ujar Jaksa.