REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones mengatakan, saat ini pemaparan radikalisme di Indonesia telah berevolusi menjadi lebih meluas dengan adanya media sosial. Sehingga paham-paham radikal tidak bisa diprediksi akan menyasar siapa saja.
Selain itu, Sydney juga menyebut tantangan terbesar adalah ketika masyarakat harus berhadapan dengan kultur yang "abu-abu" di Indonesia. Sydney juga menduga terjadinya aksi teror dan pengeboman dibeberapa gereja di Surabaya karena ada keterkaitan dengan konflik agama di Ambon dan Poso. Yang mana konflik tersebut memakan banyak korban di antara kedua belah pihak, dan gereja, dipandang sebagai media untuk balas dendam.
"Dari banyak kasus ada usaha untuk mengebom gereja, pelaku melihat gereja sebagai tempat yang ingin melawan Islam," katanya.
Menurut Jones, semua kelompok teroris di Indonesia memiliki tujuan yang sama yaitu menyebarkan teror kepada publik termasuk menyerang aparat kepolisian. Tentunya hal itu dilakukan sebagai aksi balas dendam karena telah banyak menangkap sekaligus membunuh anggota teroris yang berencana melakukan teror di Indonesia.
Baca juga: Kemenkominfo Akui Medsos Dorong Radikalisme
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengakui media sosial bisa menjadi sarana mendorong proses seseorang menganut radikalisme dan terorisme. "Proses mendorong orang untuk menjadi radikal, sangat mungkin terjadi di media sosial," kata Tenaga Ahli Kemenkominfo Donny Budi Utoyo dalam diskusi di Kemenkominfo, Jakarta, Rabu (16/5).
Donny mengatakan, terkadang banyak orang tidak sadar sedang mengakses situs yang menyebarkan paham radikalisme atau terorisme. Sebab, tidak sedikit konten-kontennya dikemas dengan sangat bagus dan menyentuh.
Donny mengklaim bahwa Kemenkominfo telah memblokir 1.285 media sosial (medsos) pasca tragedi bom di sejumlah gereja, di Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Bahkan, proses blokir hanya memakan waktu 3-4 hari.
"Sesungguhnya, proses yang sudah dilakukan oleh kami jauh-jauh hari dilakukan terus-menerus dan saat kejadian lebih diintensifkan, " ujar Donny.
Lanjut Donny, salah satu upaya terkait itu adalah dengan membuka aduan konten, internet sehat, siber kreasi dan lainnya. Adapun isinya yaitu dengan melakukan literasi digital, cara menghindari paham radikal. Menurutnya, kini ada 143 juta pengguna medsos yang berpotensi terkena virus radikal. Bersamaan dengan itu, propaganda kelompok radikalisme dan terorisme kerap dilakukan di dunia maya atau medsos.
Serentetan aksi teror melanda wilayah Indonesia pada awal Mei. Pada 10 Mei, kerusuhan terjadi di rumah tahanan (rutan) Salemba cabang Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Tahanan kasus terorisme sempat menguasai rutan selama kurang lebih 38 jam. Dalam peristiwa itu, lima orang petugas kepolisian tewas.
Kemudian pada 13 Mei, rangkaian bom bunuh diri melanda tiga gereja di Kota Surabaya. Pelaku yang terdiri dari satu keluarga melakukan aksi bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Pantekosta dan Gereja Kristen Indonesia. Sebanyak 18 orang, termasuk enam pelaku tewas. Selanjutnya pada 13 Mei malam, bom rakitan meledak di salah satu kamar yang berada di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Tiga orang tewas.
Pada 14 Mei, aksi bom bunuh diri kembali terjadi di Kota Surabaya, kali ini menyasar Mapolrestabes Surabaya. Para pelaku diketahui juga merupakan satu keluarga. Empat orang pelaku tewas, dan 9 orang petugas kepolisian luka-luka.
Pada 16 Mei, sekelompok orang terduga teroris melancarkan serangan terhadap Mapolda Riau, dengan menggunakan senjata tajam. Satu orang petugas polisi tewas dalam peristiwa tersebut.
Rangkaian Teror Bom Surabaya-Sidoarjo