Jumat 25 May 2018 05:19 WIB

Saat Anas Urbaningrum Menuntut 'Keadilan'

Semua pekerjaan yang dilakukan oleh Yulianis atas perintah dari M Nazaruddin.

 Terpidana kasus gratifikasi proyek pembangunan lanjutan pusat pendidikan dan sekolah olaharga nasional Anas Urbaningrum  saat  mengajukan upaya hukum peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (25/4).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Terpidana kasus gratifikasi proyek pembangunan lanjutan pusat pendidikan dan sekolah olaharga nasional Anas Urbaningrum saat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (25/4).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Agus Raharjo

Mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum berniat mengajukan tiga orang saksi fakta sebagai bukti baru (novum) dalam permohonan pengajuan kembali (PK). Bukti baru yang diajukan itu adalah kesaksian dari mantan wakil direktur keuangan Permai Group Yulianis, mantan direktur operasi I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mokhamad Noor, dan bekas direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang.

"Alasan peninjauan kembali karena adanya keadaan baru dan bukti baru," kata pengacara Anas, Abang Nuryasin, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (24/5).

Keterangan yang dipakai dari Teuku Bagus adalah bahwa ia tidak pernah memberikan uang kepada Anas untuk pembelian mobil Toyota Harrier. Ia juga tidak pernah memberikan uang dalam rangka penyelenggaraan Kongres Partai Demokrat.

Testimoni dari Marisi Matondang yang dipakai adalah mengenai pembelian mobil Toyota Harier kepada Anas sesunguhnya merupakan arahan dari Muhammad Nazaruddin. Pembelian itu seolah-olah berasal dari uang proyek Hambalang dengan uang tunai Rp 700 juta dari PT Adhi Karya. Uang itu diserahkan oleh Marisi Matondang kepada Yulianis sebagai uang muka mobil Toyota Harier.

Seluruh keterangan Marisi yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dilakukan karena intimidasi dari M Nazaruddin. Keterangan Yulianis yang digunakan adalah mengenai Yulianis bukan merupakan karyawan Anas, melainkan karyawan M Nazaruddin. Dan, semua pekerjaan yang dilakukan oleh Yulianis atas perintah dari M Nazaruddin, bukan perintah dari Anas dan pemilik sesungguhnya Anugerah Grup atau Permai Grup adalah M Nazaruddin dan keluarganya.

Penasihat hukum meminta majelis hakim PK untuk menghadirkan tiga orang tersebut. Terhadap permohonan tersebut, ketua majelis PK Sumpeno mengatakan bahwa untuk membuktikan permohonan hal tersebut adalah urusan dari penasihat hukum.

"Seperti perkara perdata, maka urusan membuktikan adalah dari pihak yang berkepentingan, di sini juga tidak beda. Karena, menurut pemohon, ada keadaan baru agar yang kasarnya bisa bebas, maka itu adalah usaha penasihat hukum sendiri, silakan bagaimana caranya dengan lapas, bagaimana upaya saudara membuktikan keadaan baru apa berhubungan dirjen PAS silakan," kata Sumpeno.

Selain menghadirkan 3 saksi fakta, Anas juga menghadirkan sementara dua saksi ahli.

Anas mengaku, pengajuan PK dirinyaa tidak terkait dengan pensiunnya Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung sekaligus hakim agung yang memperberat hukumannya, Artidjo Alkostar. Anas mengatakan, PK yang diajukannya tidak akan ditangani oleh Artidjo. Sebab, mantan hakim agung Artidjo adalah hakim yang menangani proses kasasinya.

"Tidak ada hubungannya karena perkara saya itu kasasinya dipegang oleh Pak Artidjo. Kalau PK kapan pun apakah hari ini, setahun yang lalu, dua tahun yang lalu, pasti bukan Pak Artidjo yang pegang PK karena Pak Artidjo sudah pegang kasasi. Jadi, tidak boleh lagi hakim yang memegang kasasi menjadi majelis hakim PK," kata Anas.

Anas adalah terpidana kasus korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang. Pada tingkat pertama, Anas divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS. Pada tingkat banding, Anas mendapat keringanan hukuman menjadi 7 tahun penjara.

Namun, KPK mengajukan kasasi terhadap putusan itu sehingga Mahkamah Agung memperberat hukuman Anas menjadi 14 tahun penjara ditambah denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan dan ditambah membayar uang pengganti Rp 57,59 miliar subsider 4 tahun kurungan dan masih ditambah hukuman pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik. Putusan kasasi itu diputuskan oleh majelis Hakim Agung yang terdiri atas Artidjo Alkostar, Krisna Harahap, dan MS Lumme.

Artidjo Alkostar pensiun sebagai hakim agung pada 22 Mei 2018 karena sudah berusia 70 tahun. "Jadi, tidak ada kaitannya dengan masa tugas Pak Artidjo, tetapi memang ini terkait dengan putusan Pak Artidjo, putusan yang buat saya tidak kredibel," ujar Anas.

Anas sendiri menilai sosok Artidjo sebagai orang yang kredibel. Meskipun, Anas mengklaim putusannya tidak kredibel. "Menyangkut putusan terkait dengan perkara saya itu putusan yang tidak kredibel karena tidak berbasiskan kepada fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap di muka persidangan,” kata Anas menegaskan.

(antara)

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement