REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Siwi Sukma Adji menegaskan, Detasemen Jalamangkara (Denjaka) siap dikerahkan untuk membantu mengatasi aksi terorisme di Indonesia. KSAL mengatakan pengerahan pasukan elit milik TNI AL itu menunggu terbitnya peraturan presiden (perpres).
"Kesiapan TNI AL sebelum adanya Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) sudah siap. Prajurit elite kita sudah siap, tinggal perintah Panglima TNI langsung saja," kata KSAL di sela-sela Pembacaan Memorandum Sertijab KSAL dari Laksamana Ade Supandi kepada Laksamana Siwi, yang digelar di atas KRI -591 Surabaya yang bersandar di Dermaga Kolinlamil, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (25/5).
Koopssusgab merupakan gabungan dari tiga matra militer, seperti Kopassus TNI AD, Detasemen Jalamangkara TNI AL, dan Detasemen Bravo 90 TNI AU. Satuan elite tersebut dibentuk pada awal 2015 oleh Jenderal (Purn) Moeldoko ketika menjabat Panglima TNI.
Menurut Siwi, pasukan elite dari tiga matra yang disiapkan berjumlah 90 orang. Mereka yang dipilih itu memiliki keahlian khusus dalam hal penanganan aksi terorisme. Namun demikian, pasukan tersebut hanya bisa diturunkan apabila sudah ada keputusan politik, seperti Perpres dari Presiden Joko Widodo.
"Kalau itu ada perintah, ya kita laksanakan. Misalnya, operasi di Marawi (Filipina Selatan) yang langsung digelar dan sampai sekarang masih berlangsung antara tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina," jelasnya.
Selain itu, pelibatan pasukan elite untuk menangani terorisme pun tidak perlu mengubah doktrin militer. Prinsipnya, TNI AL sangat siap apabila jadi dilibatkan dalam satuan Koopssusgab. Terkait UU Antiterorisme yang baru disetujui oleh DPR, Siwi menyambut baik dan pasukannya siap dikerahkan untuk membantu kepolisian mengatasi terorisme.
Baca juga: Perpres Pelibatan TNI Tanggulangi Terorisme Segera Dibuat
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah segera membuat Peraturan Presiden (Perpres) terkait pelibatan TNI dalam penanggulangan tindak pidana terorisme. Hal tersebut untuk menjalankan amanat Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"UU sudah dapat digunakan oleh aparat penegak hukum, lanjutannya nanti kami akan menyusun Perpres tentang pelibatan TNI," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly usai Rapat Kerja Pantia Khusus RUU Terorisme, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (25/5).
Yasonna menjelaskan mekanisme penyusunan Perpres, pemerintah akan mengundang lembaga-lembaga untuk diminta pendapatnya seperti TNI, Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan semua tim pemerintah untuk merumuskan dengan baik. Yasona mengatakan pemerintah akan merumuskan Perpres tersebut dengan baik karena menyangkut pelibatan TNI tidak dalam kondisi perang sehingga itu merupakan keputusan politik Presiden.
Sebelumnya, Rapat Pleno Panitia Khusus revisi UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Kamis malam secara aklamasi menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut dibawa ke Rapat Paripurna untuk disetujui menjadi UU.
"Apakah dapat disetujui RUU perubahan UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dibawa pada pembicaraan Tingkat II untuk segera disahkan," kata Ketua Pansus Terorisme M. Syafi'i dalam Rapat Kerja dengan Menkumham, Panglima TNI, Polri dan BNPT, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Setelah itu seluruh anggota Pansus menyatakan setuju RUU perubahan atas UU nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk diambil keputusan.
Baca juga: Panglima: UU TNI Jadi Acuan Militer Ikut Berantas Terorisme
Dia mengatakan selama pembahasan RUU tersebut, Pansus membangun suasana tanpa faksi sehingga memasukkan norma baru ataupun mengubah norma yang ada dilakukan tanpa pemungutan suara namun diambil dengan aklamasi. Sebelum Pimpinan Pansus mengambil keputusan, 10 fraksi memberikan pandangannya masing-masing mengenai isi RUU tersebut.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah mengenai definisi terorisme karena selama pembahasannya masih ada dua fraksi yang tidak sepakat adanya frasa motif politik, ideologi dan gangguan keamanan yaitu Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi PKB.
Namun dalam pandangan fraksi di dalam Rapat Pleno Pansus tersebut, kedua fraksi tersebut menyatakan mendukung definisi terorisme alternatif kedua yang dirumuskan Pansus bersama pemerintah.
Definisi alternatif II itu menyebutkan bahwa terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror, atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.
koopssusgab