REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yang baru disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Jumat (25/5), menambah masa penangkapan dan penahanan terkait tindak pidana terorisme. Hal tersebut agar pihak kepolisian bisa mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan interogasi terhadap terduga teroris.
Pasal 28 (ayat 1) mengatur perpanjangan masa penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup dari semula tujuh hari menjadi paling lama 14 hari. Jika dirasa waktu penangkapan tidak cukup maka penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan paling lama 7 hari kepada ketua pengadilan negeri di wilayah hukum tempat kedudukan penyidik.
Anggota Pansus UU Antiterorisme Dave Akbarshah Fikarno mengatakan masa penangkapan tersebut lebih pendek dari usulan awal Pemerintah. "Ini pertamanya kan ditawarkan oleh Pemerintah waktu itu lama sekali, berapa bulanlah, nah akhirnya disepakati yang ada di pasal itu," ujarnya saat dihubungi wartawan, Jumat (25/5).
Menurut Dave, perpanjangan masa penangkapan dan penahanan karena dibutuhkan waktu yang cukup untuk proses interogasi kepada orang yang diduga melakukan teror. Tak hanya penangkapan, UU Antiterorisme baru juga mengatur perpanjangan masa penahanan bagi tersangka tindak pidana terorisme.
Jika di UU sebelumnya penahanan seorang tersangka untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan hanya bisa dilakukan dalam waktu 180 hari atau 6 bulan, kini menjadi 270 hari atau 9 bulan sebagaiamana diatur dalam Pasal 25 UU Antiterorisme. Dalam ayat (2) diatur, untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 120 hari.
Kemudian dalam ayat (3), disebut bahwa penyidik bisa mengajukan perpanjangan ke penuntut umum untuk jangka waktu 60 hari. Namun diayat (4), penyidik juga bisa kembali mengajukan perpanjangan penahanan kepada ketua pengadilan negeri setempat selama 20 hari.
Dengan demikian, penyidik punya waktu 180 hari menahan tersangka teroris hingga statusnya naik menjadi terdakwa. Selanjutnya di ayat (5), penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa teroris selama 60 hari.
Namun, jika dalam jangka waktu penahanan tidak mencukupi, penuntut umum juga bisa mengajukan perpanjangan penahanan ke ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 30 hari. Sehungga penuntut umum mempunyai waktu 90 hari untuk mempersiapkan penuntutan.
Dengan demikian, Jika ditotal penyidikan dan penuntutan, maka waktu penahanan mencapai 270 hari. Namun, UU juga mengatur bahwa penahanan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Baca juga: DPR Akhirnya Sahkan Revisi UU Terorisme
Setelah melalui proses perdebatan panjang, DPR RI akhirnya mengetuk palu hasil revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang tersebut disahkan langsung dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,Jumat (25/5).
Undang-undang tersebut disahkan setelah seluruh fraksi dalam Rapat Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang Antiterorisme yang digelar sehari sebelumnya akhirnya menyepakati poin definisi terorisme, yaitu rumusan alternatif kedua yang menyertakan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Padahal sebelumnya, fraksi PKB dan PDI Perjuangan menghendaki definisi terorisme tanpa menyertakan frasa motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan.
Diketahui, RUU Antiterorisme sempat molor selama dua tahun. Pembahasan mengenai RUU tersebut makin ramai didesak setelah peristiwa terorisme yang terjadi beruntun di Depok, Surabaya, dan Sidoarjo.
Seolah tak ingin disalahkan, saling bantah antara DPR dan pemerintah terkait penundaan pembahasan pun sempat mewarnai dinamika. Bahkan, presiden juga sempat menegaskan akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) jika RUU Antiterorisme belum juga segera disahkan.