REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Tubagus Ace Hasan Syadzily menyarankan agar organisasi keagamaan non Islam uga membuat kode etik dakwah. Hal ini diperlukan agar tidak memecah umat beragama dan memecah banga Indonesia.
"Saya bilang bahwa untuk soal kode etik dikembalikan kepada organisasi kegamannya masing-masing. Untuk Islam misalnya serahkan ke MUI dan ormas Islam. Jadi untuk agama-agama lain juga dapat melakukan hal yang sama," ujar Ace saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (25/5).
Menurut dia, ormas keagamaan non Islam yang bisa membuat kode etik dakwah itu seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).
"Jadi itu biarkan diserahkan kepada organisasi-organisasi kegamaan itu untuk menyusun kode etik," ucapnya.
Sementara, kata dia, tugas Kementerian Agama sendiri bagaimana melakukan pembinaan terhadap ormas keagamaan tersebut untuk menyusun kode etik, serta melakukan koordinasi tentang nilai-nilai yang disepakati bersama.
"Misalnya prinsip dasarnya itu isi ceramahnya itu jangan menghasut, memprovokasi, tidak menimbulkan ujaran kebencian, serta tidak menggunakan kata-kata kasar dan kotor. Nah prinsip-prinsip itu yang kemudian disepakati," kata Ace.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai perkumpulan ormas-ormas Islam telah menyiapkan kode etik dakwah tersebut. Hal ini disampaikam Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Cholil Nafis. Pengasuh Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok ini mengatakan, kode etik tersebut disusun bersama forum nasional dai di Indonesia.
"Kita ini sudah punya pedoman dakwah. Di pedoman dakwah itu ada berkenaan dengan kode etik dakwahnya, bahkan ada dewan etik dainya," ujar KH Cholil saat dihubungi lebih lanjut.