Sabtu 26 May 2018 20:20 WIB

UU Antiterorisme Dikhawatirkan Memudahkan Penangkapan Orang

Pelanggaran HAM terkait motif politik yang berpotensi bersifat subversif.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Mochammad Choirul Anam.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Mochammad Choirul Anam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komnas HAM Mohammad Choirul Anam masih mengkhawatirkan adanya potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undang-Undang Antiterorisme. Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme telah disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna, Jumat (25/5) kemarin.

Choirul mengatakan, kemungkinan pelanggaran HAM terkait motif politik yang berpotensi bersifat subversif. "Orang tiba-tiba ditangkap, tiba-tiba diadili, tiba-tiba ditahan tanpa sesuatu yang jelas. Makanya, kami concern terhadap motif politik ini, bagaimana pengaturannya," kata Choirul saat ditemui di CIkini, Jakarta, Sabtu (26/5).

Dalam konteks penangkapan, dia menerangkan, Undang-Undang Antiterorisme tidak menyebutkan lokasi penahanan ketika ada penangkapan. Choirul mengatakan itu menjadi titik rawan terjadinya penyiksaan. 

“Tempat menjadi indikator utama agar penyiksaan tidak terjadi dan dicegah. Di UU (Antiterorisme) ini nggak ada," ucapnya.

Selain itu, Choirul juga menyoroti soal penyadapan yang berpotensi melanggar HAM. Menurutnya, penyadapan yang dilakukan seharusnya terkait penegakan hukum dan bukan kerja intelijen. 

Jika penyadapan dilakukan dalam proses penegakan hukum maka waktunya akan pendek. Jika dilakukan terkait kerja intelejen maka waktu penyadapan akan sangat panjang. 

“Walaupun itu dikatakan harus dipertanggungjawabkan oleh instansi terkait, atau sifatnya rahasia, tetapi kan kalau orang nyadap dengan sifat seperti itu, dia bisa nerobos hak privasi orang,” kata dia. 

Choirul menganggap pelibatan TNI berpotensi menyalahi aturan. Dia menerangkan hal tersebut jika keinginan militer yang tidak hanya terlibat dalam penindakan, tetapi juga pencegahan.

Menurut Choirul hal tersebut bukan yuridiksi TNI. Namun, ia menuturkan, pelibatan TNI dimungkinkan karena ada kemampuan yang dimiliki di bidang intelijen.

"Itu silakan dipakai dalam konteks tempur atau dalam konteks tertentu tapi dalam konteks seperti ini, itu nggak boleh, karena ini yuridiksi penegakan hukum bukan yang lain," tegasnya. 

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا
Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).

(QS. An-Nisa' ayat 83)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement