REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri merespons baik revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) yang telah disahkan DPR Jumat (25/5). Kepolisian akan memaksimalkan pemberantasan terorisme.
Upaya yang dilakukan Polri di antaranya akan telus melanjutkan operasi perburuan terduga teror. Polri menyatakan operasi kontra terorisme ini belum berhenti.
“Kami masih terus, kemudian kami akan kejar terus semua yang terkait dengan jaringan-jariingan ini," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto saat dihubungi Sabtu (26/5).
Setyo memastikan, Polri sudah mendapatkan data para terduga teroris tersebut. "Tinggal kami kejar saja mereka, kami sudah tahu semua," kata dia.
Meski demikian, Setyo mengaku belum mendapatkan laporan terkini terkait adanya tangkapan tambahan Polri dalam operasi antiterorisme. Sebelumnya, Polri melaporkan Detasemen Khusus 88 Antiteror bekerja sama dengan jajaran lainnya menangkap 74 orang terduga teroris pascaserangkaian teror yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu.
Sejauh ini, terduga teroris tersebut termasuk dalam jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berbaiat pada ISIS. UU Antiterorisme memungkinkan kepolisian juga bisa menindak WNI yang pernah terlibat dalam pelatihan militer di negara lain.
Pasal 12B ayat (1) menyatakan setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Lebih proaktif
Tim Densus 88 membawa barang bukti saat penggeledahan usai penangkapan terduga teroris. (Antara)
UU tersebut dianggap sebagai UU yang lebih proaktif dibanding UU sebelumnya. Setyo mengatakan Polri siap memgimplementasi UU tersebut dengan maksimal. Dia mengatakan UU ini sudah merangkum semua yang diperlukan oleh polisi.
“Tinggal kita menunggu implemantasinya karena sekarang UU itu ada di pemerintah,” kata dia.
Dalam UU Antiterorisme tersebut, terdapat beberapa perubahan terkait teknis kepolisian. Perbedaan itu di antaranya perpanjangan masa penangkapan hingga masa penahanan.
Kepolisian memiliki lebih banyak waktu untuk mengungkap jejaring teror. Masa penangkapan pun diperpanjang dari tujuh hari menjadi 14 hari.
Bahkan, masa penahanan bisa ditambah tujuh hari lagi. Perpanjangan masa penahanan itu hingga seseorang terduga teroris ditetapkan menjadi tersangka kasus terorisme maupun dilepaskan karena kurang bukti.
Terkait masa penahanan, sebelum direvisi, masa penahanan seorang tersangka untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan hanya dapat dilakukan dalam waktu maksimal 180 hari atau enam bulan. Setelah direvisi, Pasal 25 UU Antiterorisme mengatur perpanjangan dengan total masa penahanan menjadi 270 hari atau sembilan bulan.
Artinya, berkas tersangka bisa diproses polisi selama 9 bulan sebelum dibawa ke kejaksaan untuk diadili. “Ini jauh lebih baik dibanding UU sebelumnya dalam hal masa penangkapan dan penahanan,” kata Setyo.
Baca Juga: UU Antiterorisme Dikhawatirkan Memudahkan Penangkapan Orang