REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Polda Metro Jaya sepakat tetap mengadili kasus anak yang menghina Presiden Joko Widodo (Jokowi) sesuai dengan undang-undang. Komisioner Bidang Anak Berhadapan Hukum KPAI Putu Elvina mengatakan, KPAI sudah berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya terkait kasus anak yang menghina Jokowi yang direkam dan viral di media sosial (medsos) tersebut.
“Penyelesaiannya melalui mekanisme sesuai Undang-Undang Sistem Peradilan Anak atau UU Nomor 11 Tahun 2012,” kata Elvina, Ahad (27/5).
Ada beberapa landasan yang menjadi alasan anak penghina Jokowi tersebut tetap diadili. Pertama, memastikan latar belakang anak melakukan hal itu guna memahami motif atau niat anak mengucapkan kalimat tidak pantas terhadap Presiden.
Publik, kata Elvina, umumnya menyadari anak sangat mudah dipengaruhi oleh teman-temannya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan sebagai bentuk pengakuan atau ingin diakui oleh peer group mereka. Karena itu, perbuatan yang bersifat tantangan, uji nyali, bahkan sampai perbuatan melanggar hukum pun kadang menjadi media pembuktian dalam pergaulan di antara anak-anak tersebut.
Risiko atau dampak atas perbuatan tersebut sering tidak diperhitungkan sang anak lantaran dorongan emosional lebih dominan dibanding dengan kemampuan logis dalam merespons atau menyikapi stimulus yang mereka terima dari teman sebaya.
Adapun landasan kedua adalah juvenille delinquency (kenakalan remaja) yang memiliki multiaspek yang kemudian memosisikan anak harus berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku. “Maka, semua anak yang berhadapan dengan hukum harus dilandasi dengan aturan hukum yang berlaku terhadap anak yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak,” ujar Elvina.
Dia menambahkan, proses penyelidikan yang sedang dilakukan oleh kepolisian saat ini merupakan bagian dari proses hukum. Dalam kasus yang merupakan delik aduan, yang perlu dipertimbangkan terkait reposisi korban maupun pelaku yang berusia anak harus dipertimbangkan secara matang.
“Dalam UU SPPA yang memiliki ruh restorative justice, ada kekhususan penanganan untuk anak yang dianggap melanggar hukum dengan melalui diversi,” ujarnya.
Diversi, kata Elvina, hanya diberlakukan pada kasus yang memiliki ancaman di bawah tujuh tahun dan kriteria tertentu lainnya yang layak untuk dilakukan diversi. Terkait dengan kondisi tersebut, maka KPAI mendorong agar kasus anak penghina Jokowi diselesaikan melalui jalur diversi dengan menitikberatkan pada upaya keluarga untuk melakukan pembinaan terhadap anak agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Sebab, walaupun tujuannya hanya sebagai bentuk candaan, anak harus meminta maaf sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya.
Anak penghina Jokowi berinisial RJ kini telah ditangkap polisi. RJ adalah anak yang terekam di dalam video berdurasi 20 detik yang kemudian viral di medsos. Di dalam video itu, RJ yang bertelanjang dada sedang memegang foto Jokowi sambil memaki serta mengancam akan membunuh Presiden. Kasus serupa pernah terjadi di Medan, Sumatra Utrara. Anak berumur 15 tahun itu pun sudah diadili dan diganjar 1,5 tahun penjara.
Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu sepakat dengan konklusi penyelesaian kasus anak penghina Presiden. Menurut Pribudiarta, penindakan remaja yang menghina dan mengancam Presiden memang harus mengacu pada UU SPPA.
Kendati demikian, kata dia, pendekatan paling baik bagi pelaku kejahatan yang masih berusia di bawah 18 tahun atau anak-anak adalah rehabilitasi.
“Ya, rehabilitasi atau restorative justice itu lebih baik dan itu sesuai UU SPPA,” kata dia.
Pribudiarta menjelaskan, seorang anak tidak bisa dipisahkan dari lingkungan pengasuhannya. Karena itu, kondisi di rumah atau sekolah atau lingkungan yang paling kecil sangat memengaruhi perilaku si anak. “Jadi, yang harus direhabilitasi adalah si anak, ibu, bapak, sekolah, dan lingkungannya. Ini supaya tidak terjadi pengulangan dan mereka dibawa ke pekerja sosial (peksos),” katanya.
Disinggung berapa lama dibutuhkan rehabilitasi, kata dia, hal itu tergantung tingkat kesulitannya. Kendati demikian, jika sang anak bisa memahami soal informasi transaksi eletronik (ITE) dan sopan santun di ruang medsos maka waktu rehabilitasinya bisa lebih cepat.
“Tapi, kalau presiden tak suka, maka proses hukumnya mengikuti sistem peradilan pidana anak,” ujar Pribudiarta.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Jaya Nova Riyanti Yusuf menyebutkan, remaja penghina Presiden Jokowi merupakan gejala perilaku anak yang senang mengambil risiko. “Hal-hal seperti itu kan banyak (terjadi) pada remaja,” ujarnya.
Karena itu, Nova mengingatkan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna menangani anak berperilaku abusif. Pertama, ada atau tidaknya asupan narkoba atau zat terlarang lainnya yang bisa menimbulkan keberanian lebih pada orang yang mengonsumsinya.
Kedua, ada atau tidaknya masalah-masalah perilaku yang biasa terjadi pada anak dan remaja. Problem perilaku ini bisa berbentuk perilaku berulang, tidak mengindahkan norma-norma, mencuri, membolos, mengabaikan hak orang lain, hingga melakukan ancaman.
Menurut Nova, argumennya tersebut bukan tanpa alasan. Beberapa waktu lalu, dia mengadakan penelitian di Jakarta dengan narasumber 1.387 pelajar SMA. Hasilnya, ada 9,53 persen anak laki-laki yang cenderung mempunyai problem perilaku abnormal. Sedangkan anak laki-laki yang berada dalam batas-batas atau border line sebanyak 13,47 persen. (Pengolah: eh ismail)