Senin 28 May 2018 14:16 WIB

Gubernur BI Paparkan Penyebab Kurs Rupiah Tertekan

Perry meyakinkan ketahanan ekonomi Indonesia masih baik.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolanda
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo usai pelantikannya di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (24/5).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo usai pelantikannya di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (24/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan, faktor utama tertekannya nilai tukar rupiah sejak awal Februari karena perubahan kebijakan di Amerika Serikat (AS). Hal itu berdampak ke seluruh negara, termasuk Indonesia. 

"Jadi, bukan fenomena yang dihadapi Indonesia saja, melainkan seluruh negara maju maupun emerging market terkena dampaknya," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo saat ditemui di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin, (28/5).

Ia menyebutkan, ada tiga penyebab tertekannya nilai tukar di berbagai negara. Pertama, rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat the Fed yang sejumlah pelaku pasar memperkirakan lebih agresif karena perekonomian AS makin membaik. 

"Inflasi semakin tinggi sehingga pelaku pasar memperkirakan Fed kemungkinan naik empat kali. Meski probabilitas lebih banyak tiga kali. Dengan begitu mendorong kenaikan suku bunga di AS," kata Perry. 

Penyebab kedua, kata dia, kebijakan fiskal AS lebih ekspansif, penurunan pajak, lalu ekspansi fiskalnya lebih besar. Maka, defisit fiskal lebih tinggi, menjadi empat persen per produk domestik bruto (PDB), bahkan ada yang memperkirakan mencapai lima persen per PDB pada tahun depan. 

"Sehingga, utang AS lebih tinggi dan suku bunga US treasury bond-nya naik. Semula kami perkirakan US treasury bond 2,75 persen, tapi sejak Februari overshooting 3,2 persen dan 3,1 persen," tutur Perry. 

Baca juga, Rupiah Dibuka Melemah ke Posisi Rp 14.070 Per Dolar AS

Menurut dia, hal itu menyebabkan terjadinya pembalikan modal dari negara maju maupun berkembang ke AS. Pada saat sama, mata uang dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang dunia. 

Selanjutnya penyebab ketiga, kata dia, ada sejumlah risiko geopolitik. "Termasuk juga ketidakpastian global, perang dagang AS-Tiongkok. Ini yang menyebabkan tidak hanya suku bunga AS naik, dolar juga kuat, tapi juga premi risiko global naik," kata Perry menegaskan.

Kendati demikian, ia meyakini ketahanan ekonomi Indonesia cukup kuat terhadap tekanan eksternal saat ini maupun tekanan sebelumnya seperti pada 2011 yang diakibatkan krisis Yunani. Negara ini juga mampu menghadapi tekanan global akibat Brexit dan lainnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement