REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Sedikitnya belasan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Sumatra Barat berencana melakukan merger atau penyatuan usaha sebelum 2019 mendatang. Langkah ini dilakukan untuk memenuhi permintaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar BPR memiliki modal inti minimum sebesar Rp 3 miliar pada 2019, kemudian meningkat menjadi Rp 6 miliar pada 2024.
Kepemilikan modal inti yang lebih gendut diyakini akan memberikan skala permodalan yang lebih besar bagi masyarakat. Sebetulnya demi mengejar kepemilikan modal inti yang lebih besar, BPR tak harus melakukan merger. BPR bisa saja mencari investor baru yang bisa menyuntikkan modal lebih besar.
Namun cara ini dipandang tak mudah. OJK melihat bahwa merger merupakan cara paling ampuh dan 'aman' bagi BPR di Sumbar untuk memperbesar modal inti. Apalagi, BPR di Sumbar sendiri mayoritas merupakan jelmaan dari Lumbung Pitih Nagari (LPN), sebuah lembaga keuangan masyarakat era Orde Baru.
"Karena pada dasarnya (BPR) ini lahir dari tokoh-tokoh Nagari yang sudah sepuh dan kalau disuruh setor uang memang tak punya. Maknya harus cari investor baru, atau kami dorong melakukan merger penggabungan dengan BPR lainnya," jelas Kepala Perwakilan OJK Sumbar Darwisman, Senin (28/7).
Ia berharap pemegang saham BPR bisa segera mengambil sikap untuk melakukan penggabungan. OJK juga mengatur agar pemegang saham tak diberikan deviden apabila modal inti BPR belum menyentuh Rp 6 miliar sesuai tenggat waktu yang diberikan. Kebijakan itu diharapkan bisa mendorong pemegang saham segara mengambil sikap.
"Dan ada hasilnya. Bulan lalu, ada inisiatif 6 BPR di Sijunjung merger. Bukittinggi 2 unit BPR, Payakumbuh 2 unit, dan Dharmasraya 2 unit," ujar Darwisman.
Penggabungan uni usaha ternyata juga melibatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yakni Bank Nagari. Rencana merger di Sijunjung yang melibatkan 6 BPR misalnya, beberapa unitnya dimiliki oleh Bank Nagari. Total aset keenam BPR yang berencana merger bahkan menyentuh Rp 70 miliar dengan modal inti tembus Rp 6 miliar.
Penggabungan usaha BPR juga diharapkan bisa mengurangi risiko likuidasi terhadap bank dengan kinerja keuangan buruk. Terakhir, OJK Sumatra Barat memutuskan untuk mencabut izin usaha PT BPR Budisetia, per 25 Mei 2018. Lembaga jasa keuangan yang beralamat di Jalan Prof Dr Hamka 115, Air Tawar Barat, Kota Padang tersebut terpaksa dicabut izinnya setelah tak sanggup memperbaiki kinerja keuangannya.