REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah UU Antiterorisme yang baru disahkan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat segera melakukan pendataan Warga Negara Indonesia (WNI) yang kembali dari Suriah. Terutama mereka yang diduga terlibat dengan ISIS atau pelatihan militer lainnya.
“Kalau misalnya bukti sudah jelas ya lakukan proses hukum," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal saat dikonfirmasi, Ahad (29/5).
Menurut Iqbal, Polri akan melakukan pengawasan bersama Badan Nasional Penanggulan Teror (BNPT) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sesuai dengan fungsinya masing-masing. "Nanti akan diatur siapa yg nanti akan di depan, siapa yg akan proses hukum, siapa yang lakukan penindakan," kata dia.
Kendati demikian, untuk upaya pencegahan, Iqbal berharap agar semua pemangku kebijakan di Indonesia dapat saling bekerja sama hingga ke tingkat akar rumput. Ia berpendapat senjata menanggulangi teroris dimulai dari pengawasan orang tua pada anak-anak agar tidak sampai terpapar ekstremisme.
Polri merespons baik revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) yang telah disahkan DPR Jumat (25/5). UU tersebut dianggap sebagai UU yang lebih pro aktif dibanding UU sebelumnya. Polri pun siap memgimplementasi UU tersebut dengan maksimal.
Dalam UU Antiterorisme tersebut, terdapat beberapa perubahan terkait teknis kepolisian. Perbedaan itu di antaranya, kepolisian juga bisa menindak WNI yang pernah terlibat dalam pelatihan militer di negara lain.
Pasal 12B ayat (1) menyatakan setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.