REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Hidup di sebuah negara yang mayoritasnya non-Muslim seperti Korea Selatan (Korsel) tidaklah mudah bagi Muslim. Dominasi budaya yang jauh dari nilai-nilai Islam membuat Muslim Korea benar-benar harus berjuang dalam dakwah dan ibadah.
Di samping dominasi agama Budha dan Konfusius, agama Nasrani juga lebih cepat berkembang di sana. Namun, jumlah penduduk asli Korea Selatan yang beragama Islam sampai saat ini tidak lebih dari 0,1 persen dari sekitar 50 juta jiwa total populasi penduduk di sana. Di samping jumlah tersebut, terdapat sekitar 200 ribu Muslim pendatang dari berbagai negara di dunia yang tinggal di sana untuk bekerja, belajar, atau pun menetap di Korea Selatan.
Di Korsel, terdapat sekitar 38 ribu warga negara Indonesia (WNI) dan 80 persen dari jumlah tersebut adalah Muslim. Mereka umumnya bekerja di bidang manufaktur dan tinggal di mes yang disediakan pabrik. Mereka tidak menyewa rumah sendiri dan sedikit sekali yang menyewa rumah dengan cara patungan di luar mes yang telah disediakan pabrik.
Selama di Korea Selatan, mereka tidak membawa keluarga karena mereka hanya mendapat visa tunggal bagi pekerja. Karena itu, keberadaan masjid menjadi angin surga bagi mereka karena di masjid itulah mereka bisa bertemu sesama WNI dan bisa beribadah dengan nyaman.
Dai Ambassador Cordofa Korea Selatan, Ustaz Alnofiandri Dinar, mengatakan WNI di Korsel sebelumnya merasa kesulitan untuk beribadah. Mereka harus berjalan jauh untuk menemukan masjid atau harus beribadah di tempat dengan kondisi ruangan yang kecil di ruang kerja. Kondisi demikian kemudian melahirkan keinginan para WNI untuk menginisiasi pendirian masjid.
"Mereka ingin membangun masjid agar tetap bisa menunaikan kewajiban sebagai Muslim serta menjadi pusat peradaban Islam selama berada di Korea Selatan," kata Alnofriadi saat dihubungi Republika.co.id, belum lama ini.
Ide pendirian masjid mulai terealisasi bermula dari pertemuan-pertemuan sesama WNI di pabrik-pabrik mereka di sela-sela istirahat, dan obrolan ringan beberapa WNI yang pernah merasakan menjadi santri saat di Indonesia di jejaring media sosial. Obrolan yang awalnya hanya terjadi antara beberapa orang terus meyebar luas kepada para WNI yang bekerja di pabrik dan distrik-distrik.
Hingga kemudian, terbentuklah panitia kecil yang bertugas menghimpun dana dan penyediaan ruang ibadah. Pada 2010-2011, panitia tersebut mulai melakukan penghimpunan dana untuk membeli tanah atau bangunan yang bisa direnovasi. Mereka kerap mengadakan acara, seperti mengadakan tabligh akbar dan mengundang ustaz dari Indonesia sekaligus melakukan penggalangan dana. Selanjutnya, mereka menyewa sebuah flat di apato-apato yang mudah mereka jangkau seperti dekat pabrik dan pasar.
Pada 2011, atas inisiasi murni dari para WNI, mereka bisa mengubah bangunan lama di Changwon menjadi masjid yang dinamakan dengan Masjid Sayyidina Bilal. Setahun kemudian, WNI membangun masjid di Angsha yang diberi nama Masjid Siratal Mustaqim.
Ustaz Alnofriadi mengatakan, umat Muslim dan WNI di Angsha sangat banyak lantaran di sana merupakan kota industri. Karena dana yang kurang mencukupi untuk membangun masjid, ia mengatakan para WNI lantas bergabung dengan komunitas Bangladesh dan komunitas lainnya untuk membeli tanah dan membangun masjid.
"Meski didirikan berasal dari urunan WNI dan komunitas lainnya, namun masjid ini didominasi oleh WNI. Baik itu dari segi jamaah yang memakmurkan dan pengurus yang mengelola masjid, termasuk imam tetap salah satunya dari Indonesia," terangnya.
Hingga saat ini, Ustaz Alnofriadi mengatakan sudah ada 59 masjid yang diinisiasi dan dikelola oleh WNI di seluruh kota di Korea Selatan. Lima di antaranya sudah permanen dan terpisah dari bangunan lain. Sedangkan 54 masjid lainnya masih berupa flat atau aula yang disewa pada salah satu lantai di apartemen-apartemen di Korea. Umumnya, masjid-masjid tersebut dikelola oleh WNI. Sedangkan umat Muslim dari negara lain umumnya hanya sekedar mengikuti kajian jamaah dan shalat.
Ia mengatakan, masjid-masjid yang permanen sudah berwenang menunjuk imam tetap dari dalam atau luar Korea dan pengurusan visanya akan diterbitkan dengan sponsor dari Korea Muslim Federation (KMF). Tidak hanya sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat informasi bagi warga Korea yang ingin belajar Islam. Masjid-masjid di Korea Selatan menyediakan bahan-bahan bacaan dan audio yang diberikan gratis buat mereka yang ingin mempelajari Islam.
Korea Selatan sendiri memiliki masjid di Seoul yang bernama Masjid Itaewon atau Seoul Central Mosque yang didirikan pada 1976. Menurut sejarah, presiden Korsel memberikan area lahan di distrik Yongsan-gu, Itaewon, Seoul, kepada Turki untuk dibangun masjid dan madrasah.