REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan komisioner KPU periode 2012-2017 Hadar Nafis Gumay, menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg). Menurutnya peraturan mengenai syarat calon wakil rakyat harus berlaku secara adil.
"Jika memang Presiden mengambil sikap demikian, maka saya menyayangkan hal tersebut," ujar Hadar ketika dijumpai wartawan di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (29/5).
Menurut Hadar, pemerintah dan DPR sebaiknya bersikap adil terhadap pemberlakuan larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk menjadi wakil rakyat. Sebab, sebelumnya KPU sudah memasukkan larangan ini dalam persyaratan calon anggota (caleg) DPD.
Aturan ini pun juga mengalami masa konsultasi dengan Komisi II DPR sebelum akhirnya disahkan dalam PKPU Pencalonan Anggota DPD. "Aturannya sama, bunyinya kurang lebih sama termasuk di dalamnya ada larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi. Jika untuk aturan caleg DPD disetujui, mengapa untuk caleg DPR dan DPRD tidak?" tutur dia.
Menurut Hadar, sikap pemerintah dan DPR saat ini menjadi diskriminatif terhadap dua peraturan bagi calon wakil rakyat itu. "Kemarin syarat caleg DPD saat konsultasi apakah DPR lengah? Mengapa sekarang yang syarat caleg DPR dan DPRD dipermasalahkan," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan pernyataan Presiden Jokowi soal larangan caleg dari mantan koruptor tidak mengejutkan. Sebab, pandangan pemerintah sudah lebih dulu disampaikan pada saat rapat dengar pendapat di Komisi II pekan lalu.
kalau presiden berpandangan demikian sebenarnya tidak mengejutkan, karena pemerintah sudah menyampaikan pandangannya ketika rapat konsultasi KPU dengan DPR dan pemerintah yang juga dihadiri oleh Bawaslu. "Tentu apa yang disampaikan pemerintah pada saat itu merefleksikan kelembagaan presiden yang dalam hal ini diwakili," ujar Titi, Selasa (29/5) sore.
Meski demikian, dia meminta pernyataan Presiden Jokowi tidak membuat semangat KPU menjadi surut. KPU, menurutnya, harus tetap memberlakukan larangan itu.
Sebab, menurut Titi, KPU adalah institusi yang mandiri dalam membuat aturan teknis kepemiluan. "Kemandirian KPU dibuktukan dengan pembuatan keputusan yang sesuai dengan apa yang mereka yakini. Jika ada pihak yang merasa keberatan dengan peraturan KPU ada mekanisme hukum yang bisa ditempuh," tegasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memberikan tanggapannya terkait rencana KPU yang melarang mantan napi kasus korupsi untuk ikut maju menjadi caleg. Menurut dia, mantan napi kasus korupsi juga memiliki hak politik setelah menjalani hukuman.
"Kalau saya itu hak. Hak seseorang berpolitik," ujar Jokowi di UHAMKA, Jakarta Timur, Selasa.
Ia berkata, hak berpolitik mantan narapidana korupsi itu juga diatur dalam konstitusi. Karena itu, menurut dia, KPU dapat mengkaji kembali kebijakan tersebut.
"Ya itu konstitusi, memberikan hak, tapi silakan KPU ditelaah," kata Jokowi.
Ia juga mencontohkan, KPU dapat memperbolehkan mantan napi korupsi maju menjadi caleg. Namun, KPU dapat memberikan tanda khusus sebagai informasi kepada masyarakat bahwa caleg tersebut merupakan mantan napi kasus korupsi.
Baca Juga: Jokowi: Mantan Napi Korupsi Punya Hak Politik