REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Juru Bicara Presiden RI ke-3 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Yahya Staquf, diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kalla.
Sesaat sebelum dilantik, Yahya menyebut bahwa ini adalah momen kedua dia kembali ke lingkup Istana, setelah tak lagi mendampingi Gus Dur. Yahya menuturkan setelah lepas jabatan sebagai juru bicara dia lebih banyak menghabiskan waktu di pesantren. "Ya hanya ngaji aja," kata Yahya, Kamis (31/5).
Yahya mengatakan, saat mendampingi Presiden Gus Dur dulu, dia juga hanya sebentar menghuni Istana. Sekitar 10 bulan bersama Gusdur karena saat itu mantan Ketua Umum PBNU tersebut harus lengser dari kursi Presiden RI oleh MPR.
Dengan masa kepemimpinan Jokowi-JK yang kurang lebih satu tahun, maka jabatan Watimpres pun akan berjalan sebentar "Sekarang juga cuma sebentar," ujarnya.
Yahya, akan menjadi anggota Wantimpres menggantikan almarhum KH Hasyim Muzadi. Dia mengaku, sempat dihubungi untuk pelantikan pada 25 Mei 2018. Namun masih ada urusan di luar negeri dan baru kembali 28 Mei, maka pelantikan baru dilakukan hari ini.
Dia pun kemudian dilantik berdasarkan Keppres 84 B 2018 tentang pengangkatan anggota wantimpres. Menurut Yahya, permintaan dari Presiden untuk menjadi anggota Wantimpres menjadi sebuah kewajiban sebagai warga negara untuk berkontribusi pada negara. Dia pun akan berusaha memberikan buah pikir terbaik kepada presiden dalam menjalankan pemerintahan.
Yahya pun akan lebih berhati-hati dalam berbicara, karena segala sesuatu yang keluar dari ucapannya akan mencerminkan sebagai perwakilan pemerintah. "Saya lebih berhati-hati bicara tentang negara dan pemerintahan, karena sekarang nasehat saya menjadi hak-nya presiden," ujar Yahya.
Yahya mengatakan, sebagai orang yang lama berkecimpung di Nahdathul Ulama (NU), dia bakal memberikan berbagai pandangan termasuk dalam mengeliminasi perkembangan paham radikalisme. Persoalan tersebut pun dianggap tidak bisa diselesaikan secara sendiri-sendiri. Indonesia harus berperan dan mengajak negara lain. Radikalisme bukan hal yang bisa diselesaikan secara domestik.
"Sejak dulu NU sudah menyampaikan itu. Kemudian nanti akan ada dimensi yang lebih detail, lebih teknis mengenai hal ini yang bisa didiskusikan lebih lanjut bersama pemerintah bagaimana cara pelaksanaannya," ujar Yahya.
Model konsolidasi, lanjut Yahya, jelas harus dikomunikasikan dengan negara-negara paling strategis termasuk yang ada di kawasan Timur Tengah, juga dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Karena masalah global jadi ini persoalan dunia juga.