Seturut berpulangnya Dawam Rahardjo pada Rabu (30/5), pemikiran-pemikirannya kembali mencuat. Ia diklaim banyak pihak sebagai banyak hal. Alur pikiran pemikir kelahiran Solo, Jawa Tengah, 20 April 1942 bisa diibaratkan sebuah labirin yang kompleks. Bagaimanapun, berbagai pihak tak meragukan kejernihan alur pikirnya.
Lama berkecimpung di dunia akademisi Indonesia, sikapnya juga kerap jadi acuan. Bagaimana sikap tersebut diujung kehidupannya yang penuh warna itu? Wartawan Republika Muhammad Subarkah sempat menggali hal tersebut dalam wawancara khusus pada suatu hari di sebuah gedung di Jalan Sudirman, Jakarta, pada Januari 2015 lalu.
Ini adalah salah satu wawancara paling akhir yang sempat dilakukan Dawam dengan media di Indonesia. Saat itu, riak-riak menuju polarisasi yang kian tajam belakangan mulai mengemuka. Berikut petikan wawancara saat itu.
Saat ini ada gerakan yang nampak mencoba menghapus Islam politik. Terkait dengan itu, maka menurut Anda sebenarnya asal usul dari munculnya kebencian terhadap Islam politik itu dari mana?
Sebetulnya sumber atau munculnya kebencian terhadap Islam politik itu berasal dari negara-negara Barat. Ini karena umat Islam itu lama sekali berjuang melawan imperialisme barat. Tapi, perjuangan itu selalu kalah karena persenjataan yang dimiliki oleh umat Islam ketika melawan mereka itu lemah. Akibatnya, perlawanan umat Islam pun selalu kalah.
Imbas kekalahan ini pun meluas tak hanya dalam bidang militer, yakni merambah bidang politik, sosial, dan ekonomi. Sehingga, karena itu maka negara-negara Muslim pun kemudian hidup dijajah oleh negara-negara Barat dalam jangka waktu yang lama. Umat Islam pun tak bisa bergerak.
Dan, sebagai satu-satunya reaksi yang masih dapat dilakukan untuk keluar dari kenyataan tersebut, maka umat Islam pun bangkit melakukan perlawanan dengan cara 'gerilya'. Ini adalah pilihannya. Maka, dalam hal ini terorisme yang kerap dilabelkan kepada kaum Muslim oleh media negara-negara Barat itu pada hakikatnya jelas dapat disebut juga sebagai 'gerilya politik'. Atau bisa juga disebut sebagai sebuah gerakan kekerasan. Jadi, gerakan ini muncul karena memang mereka tidak punya kesempatan untuk tampil ke permukaan.
Hal seperti inilah yang kini terjadi di jazirah Arab. Di sana Ikhwanul Muslimin selalu ditekan. Bayangkan meski memang dalam pemilihan presiden yang demokratis dan jujur, kemenangan mereka dibatalkan. Hal yang sama juga terjadi di Aljazair. FIS meski menang pemilu, tetapi kemenangannya pun dibatalkan atau tak diakui.
Nah, kalau sudah begitu, maka jelas mereka (negara-negara Barat) menjadi tak demokratis. Maka, umat Islam yang mereka zalimi melakukan perlawanan dengan cara kekerasan karena sudah tak ada pilihan lain. Jadi, kalau sekarang ini ada pihak-pihak tertentu, entah itu pihak pemerintah atau nonpemerintah, atau pula itu kekuatan Barat yang mau menghilangkan Islam politik itu, maka yang nanti akan timbul justru gerakan-geralan radikal yang mereka sebut itu sebagai aksi terorisme.
Untuk kasus Indonesia, gerakan menghapus Islam politik itu menurut Anda muncul mulai kapan?
Ya, sumber pertamanya memang dari sikap negara-negara Barat tersebut. Sumber lainnya adalah muncul dari gerakan komunis. Ini karena propaganda komunis tak pernah bisa mempan di lingkungan umat Islam. Bahkan, propganda komunis oleh umat Islam selalu ditentang habis-habisan. Untuk itulah, kaum keduanya ini berusaha getol sekali menghilangkan Islam politik tersebut.
Padahal, perlu dipahami keberadaan Islam politik itu seharusnya dipahami sebagai sebuah hal yang positif. Ini karena Islam politik itu pasti demokrasi sebab Islam politik itu pasti dilakukan melaui perjuangan partai. Nah, kalau diperjuangkan oleh partai, maka itu jelas sebagai hal yang terbuka karena sebuah partai pasti ada izin dan aturan-aturannya. Dengan begitu, pasti mengikuti prasyarat demokrasi, seperti mengikuti pemilihan umum, mengikuti diskusi di publik, dan melakukan komunikasi dengan seluruh pihak. Jadi, Islam politik kan terbuka dan damai.
Setelah tahu seperti itu, menjadi pertanyaan saya kenapa Islam politik kok mau direpresi dan mau dihilangkan. Dan kalau ini benar-benar mau dihilangan, maka yang akan terjadi justru radikalisme.
Lalu, apakah gerakan Islam yang ingin mematikan gerakan Islam politik itu ujungnya hanya bertujuan menjadikan Islam sebagai alat yang ramah kepada kaum kapitalis?
Iya, memang begitu. Itu tindakan yang kini dilakukan oleh negara-negara Barat ketika merepresi dan tak ramah kepada Islam. Padahal, Islam itu menghendaki dan punya prinsip adanya keadilan sosial. Akhirnya, Barat pun terus curiga bahwa Islam politik itu tak perlu ada.
Dan, inilah hal yang keliru sebenarnya. Jadi, dalam hal ini Barat itu salah besar! Sekali lagi kalau Islam politik dihilangkan, maka akan terjadi radikalisme dan terorisme yang jauh lebih besar.
Di sini menjadi jelas, hanya dengan poitik Islam, maka semua radikalisme dan terorisme akan bisa dikontrol. Islam akan diperjuangkan secara tebruka di publik, DPR, dan media massa. Sesuai asas demokasri, makanya semua bisa dikontrol dan dilihat. Dan, ini berbeda bila Islam politik diperjuangkan di bawah tanah, maka menjadi sulit dikontrol lagi.
Contohnya, ya apa yang terjadi pada ISIS itu. Keadaan ini terjadi karena kaum Suni yang mayoritas di Irak utara itu penduduknya Suni, tapi penguasanya Syiah. Makanya, timbul ISIS.
Apakah adanya perilaku politisi partai Islam yang kerap tidak sesuai dengan ajaran agamanya bisa dijadikan alasan untuk menghapus Islam politik?
Kalau soal itu tidak hanya terjadi di Islam, tapi di semua agama dan ideologi. Untuk melihat ini, maka hendaknya dilihat pada kecenderungannya. Apakah trennya ke depan menuju perbaikan atau tidak. Dalam hal ini, saya melihat trennya menuju perbaikan.
Islam politik di masa sekarang jauh lebih baik, misalnya, bila dibandingkan dengan zaman Orde Baru. Saat itu kan timbul gerakan-gerakan bawah tanah yang kemudian sisa-sisanya muncul pada reformasi. Namun, dalam hal ini, harus diakui pula ketika Islam politik dirangkul dan masuk ke dalam pemerintahan, memang ada pihak yang tidak suka. Dan, ini soal biasa saja dalam rivalitas politik.
Dahulu ketika para bapak-bangsa ini berdebat soal konstitusi di BPUPKI, yang ada di sana hanyalah kelompok Islam dan nasionalis. Apa dengan demikian bila salah satu pihak dihilangkan--dalam hal ini Islam Politik--maka jelas itu pengingkaran sejarah?
Iya, memang begitu. Dahulu di BPUPKI itu kan hanya diikuti dua golongan, Nasionalis dan Islam. Saat itu, kekuatan komunisme sudah bangkrut ditindas oleh pemerintah kolonial Belanda. Demikian juga golongan sosialis, pada saat itu golongan ini belum lahir. Golongan sosialis baru lahir setelah kemerdekaan. Jadi, kedua golongan terakhir itu tak ada dalam BPUPKI.
Nah, karena tak ada dalam BPUPKI, maka dimengerti bila keduanya--sosialis dan komunis--menentang Pancasila dan menentang UUD 1945. Jadi, kalau ada pihak yang kini terus-menerus berusaha keras menghapus Islam politik, maka mereka ini adalah kelompok orang yang tak mau melihat kenyataan.
Dahulu, misalnya, ada pandangan bahwa kekuatan Islam politik itu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini dianggap memperjuangkan syariat Islam dan negara Islam. Nah, belakangan, yakni pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, malah mereka masuk dalam kabinet atau pemerintahan. Dan faktanya membuktikan ketika PKS ada dalam pemerintahan mereka tak pernah memperjuangkan syariat Islam dalam artian mendirikan negara Islam. Tudingan itu ternyata tak ada dan tak terbukti!
Malahan, saya melihat kini kekuatan Islam politik terus melakukan proses demokratisasi dan bahkan terjadi proses deradikalisasi. Sekarang PKS sama sekali tak ada tanda-tanda radikal. Partai itu hanyalah militan. Dan, antara radikal dan militan itu artinya berbeda sama sekali serta ini sering disalahpahami.
Apa bedanya radikal dan militan itu?
Ya beda. Kalau radikal itu menginginkan perubahan secara mendadak, sedangkan militan itu tak begitu. Militan adalah konsisten berjuang secara terus-menerus dengan disertai kerja keras serta penuh kesabaran. Nah, maka itu kedua kata ini hendaknya jangan salah dipahami karena beda arti dan pemahamannya.
Menurut Anda, pihak mana sih yang terus-menerus memupuk kebencian terhadap Islam politik?
Menurut saya, dibandingkan dulu kecurigaan terhadap Islam politik sudah jauh berkurang. Malah, saya melihat Islam poitik di Indonesia sudah maju dengan pesat. Ini ditandai ketika Islam politik di sini sudah menyerap dan makin dekat dengan kebangsaan.
Mereka juga sudah dekat dengan sosialisme dan modernisme. Sehingga, Islam politik kini punya kombinasi dari ketiga hal ini, yakni makin modernis, nasionalis, dan religius. Ini jelas sebuah kombinasi yang bagus. Jadi, ke depan harus diperkuat, bukan malah dihilangkan. Kalau sampai menghilangkan, itu jelas tindakan bodoh. Kalau ini dilakukan, maka bangsa ini akan memperoleh hal yang sebaliknya.
Apa risiko terbesar bila Islam politik dihilangkan selain meruaknya radikalisme?
Nanti tak ada lagi yang mendukung republik ini. Tak ada lagi yang mendukung Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Jadi, berbahaya sekali. Pendukung Pancasila dan UUD 1945 justru yang terkuat adalah umat Islam. Risiko terberat lainnya bila Islam politik dihilangkan adalah negara ini runtuh dan berkeping-keping.
Kalau begitu, saran Anda kepada pihak pemerintah dalam soal ini seperti apa?
Mereka itu harus waspada. Ini mengingat bisa terjebak dalam dua kemungkinan. Pertama, terjebak oleh politik Barat dan negara Eropa yang sampai sekarang tetap belum mau ramah kepada Islam.
Kedua, terjebak oleh komunisme. Kelompok ini selama ini terus gagal ketika berhadapan dengan umat Islam. Dan, di sini membuktikan bahwa bangsa Indonesia itu religius sehingga tak bisa ditembus oleh komunisme.
Dengan demikian, menurut Anda, apakah ajaran Islam juga berarti tak bisa secara total dipisahkan dari negara seperti yang terjadi pada agama di Barat itu?
Memang tidak bisa. Memang di Amerika Serikat tak ada partai politik Islam. Tapi, di sana gerakan Islam itu muncul. Juga di bidang ekonomi, umat Islam di sana juga berkembang dengan produk halal dan perbankan Islam. Nah, di sana justru mengalami kebangkitan. Jadi, Islam tak bisa hanya mengurus soal pribadi.
Ingat, Islam itu bukan agama pribadi. Islam itu agama publik. Ini jelas suatu hal yang maju. Dulu Islam kan dianggap kolot hanya urus soal ibadah saja. Lalu datang Sarikat Islam dan Masyumi yang tegas mengatakan Islam bukan hanya urusan ibadah (pribadi), tapi juga mengurus soal politik, ekonomi, ingin kemerdekaan, dan lainnya. Nah, sekarang ini kok setelah muncul malah dicegah. Ini kan pikiran yang sama sekali keliru.
Dalam banyak hal, Islam politik di Indonesia sudah mendekati ideal. Keadaan ini berbeda dengan di berbagai negara Arab yang dikuasi rezim sosialisme Arab yang sekuler dan sangat menindas. Akhirnya, di Arab itu sekarang timbul radikalisme.
Dulu dalam Pemilu Legislatif 2014, Anda menyerukan pilihlah partai Islam agar Islam politik tak hilang. Nah, seruan Anda bergaung luas dan hasilnya partai Islam mampu meraih suara signifikan. Melihat itu apa komentar Anda sekarang?
Sayangnya, mereka tidak bersatu. Masing-masing partai itu memang memperoleh suara sehingga digabung mencapai 32 persen atau yang tertinggi di antara partai yang lain. Jadi, sekarang itu tampaknya ada soal kepemimpinan, di dalam partai Islam di mana satu partai Islam tak mau mengikuti kepemimpinan partai Islam yang lain. Akibatnya, yang bisa diterima itu malah 'orang lain'.
Nah, dalam soal ini, saya kini punya ide agar Koalisi Merah Putih dipermanenkan menjadi Federasi Partai Politik Merah Putih. Ini karena kalau membentuk partai yang satu tampaknya sulit. Jadi, modelnya bisa mengacu ke UMNO di Malaysia.
Dan, jangan lupa di sini tugas partai Islam harus dijalankan dengan sungguh-sungguh. Tugas mulia ini adalah melindungi, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan, melaksanakan ketertiban dunia, dan mewujudkan keadilan sosial bagi bangsa Indonesia. n