Sabtu 02 Jun 2018 02:00 WIB

Jejak Eks Laskar Diponegoro dalam Bangun Ponpes Tertua

Ajaran Islam berkembang pesat di Singosari tak lepas dari ajaran empat kasta.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Suasana Pondok Pesantren tertua Miftahul Falah di Jalan Bungkuk Singosari Kabupaten Malang. Bangunan ini juga dikenal dengan sebutan Ponpes Bungkuk.
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Suasana Pondok Pesantren tertua Miftahul Falah di Jalan Bungkuk Singosari Kabupaten Malang. Bangunan ini juga dikenal dengan sebutan Ponpes Bungkuk.

REPUBLIKA.CO.ID, Perkembangan Islam di Malang Raya terbilang cukup lambat dibandingkan kota-kota pesisir lainnya di Jawa Timur (Jatim). Selain karena lokasi agak pedalaman, pengaruh ajaran Hindu-Budha juga begitu kuat.

Di antara bagian Malang Raya, wilayah Malang Utara tepatnya di Singosari terbilang agak belakangan mengalami perkembangan Islam. Semua ini tak lepas karena lokasi pernah dikuasai oleh Kerajaan Singosari. Meski kerajaan Ken Arok tersebut sudah runtuh, ajaran kehinduan dan kebudhaan masih kuat di tubuh warga setempat.

Keislaman di Malang Utara banyak merujuk pada sosok Kiai Hamimuddin sekitar 1830. Pria ini diketahui sebagai mantan Laskar Pangeran Diponegoro dari Magelang, Jawa Tengah. 

Seperti diketahui, Pangeran Diponegoro harus perang beberapa kali menghadapi Belanda. Sekitar 1825 sampai 1830, itu menjadi perang terakhir kedua kubu di mana Belanda mengaku menyerah. "Tapi ternyata itu cuma taktik. Saat perundingan, Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Makassar. Makam beliau juga masih ada di sana," kata Cicit Kiai Hamimuddin, Kiai Haji Moensif Nachrowi kepada wartawan di kediamannya Jalan Bungkuk Singosari Kabupaten Malang, Jumat (1/6).

Karena sang pemimpin sudah tiada, Laskar Diponegoro pun kocar-kacir melarikan diri dari Belanda. Mereka berusaha mencari kehidupan sendiri masing-masing tanpa melupakan pesan dari Pangeran Diponegoro. Pesan yang menjadi pegangan Laskar Pangeran Diponegoro itu, yakni "di manapun kamu berada, kamu harus mengembangkan Islam".

Kiai Hamimuddin menjadi salah satu Laskar Pangeran Diponegoro yang akhirnya memutuskan menetap di Singosari, Malang Utara. Saat memasuki wilayah ini masih hutan belantara dengan sisa kerajaan Singosari yang begitu kuat. Masyarakat setempat masih utuh memegang ajaran Hindu-Budha sebagaimana yang telah ditinggalkan para pendahulunya.

Di wilayah tersebut, Kiai Hamimuddin mendirikan semacam gubuk terbuat dari bambu dengan genteng berupa dedaunan sekitar. Di tempat kecil itu, Kiai Hamimuddin mengajarkan mengaji Alquran dan shalat. Dengan kata lain, lokasi itu dijadikan sekaligus sebagai masjid dan pondok pesantren

Kegiatan Kiai Hamimuddin ternyata cepat meluas dan diketahui oleh masyarakat setempat. "Bahkan waktu itu orang Hindu yang berbahasa Jawa menyebutkan lokasi Kiai Hamimuddin sebagai tempat yang banyak orang bungkuk-bungkuk (gerakan rukuk dalam shalat). Dari sini, tempat ini dikenal sebagai Dusun Bungkuk hingga sekarang," jelas pria yang lahir pada 1935 ini. 

Ajaran Islam berkembang pesat di Singosari tak lepas dari ajaran empat kasta dalam kehinduan. Seperti diketahui, terdapat empat kasta dalam kehidupan Hindu yakni Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Di Singosari kebanyakan warga berkasta Sudra dan dalam kesehariannya harus menunduk hormat setiap bertemu dengan orang yang kastanya lebih tinggi dari mereka.

Ajaran tak membeda-bedakan manusia di dalam Islam ternyata menjadi daya tarik masyarakat Sudra di Singosari. "Mereka bilang 'di sana ada ajaran baru yang tidak membeda-bedakan manusia satu sama lain'. Bahkan, saat pengajian orang biasa bisa duduk bersama dengan pak Lurah yang kalau di kasta lebih tinggi dari Sudra. Oleh karena itu, di sini warga merasa diorangkan statusnya karena perbedaan dalam Islam hanya dilihat dari tingkat ketakwaannya. Dan itu jadi urusan Allah SWT," tambahnya.

Orang Sudra di Singosari mulai ikut belajar mengaji dan solat di gubuk kecilnya Kiai Hamimuddin. Karena kecil, gubuk yang dianggap sebagai masjid dan pesantren itu pun terus diperbesar dari waktu ke waktu. Kini kedua fungsi tersebut telah dipisahkan dengan bangunan masing-masing, yakni Masjid Mbah Thohir atau At-thohiriyyah atau Masjid Bungkuk dan Ponpes Bungkuk atau Miftahul Falah.

"Dan tentang catatan istri Kiai Hamimuddin hingga saat ini belum ada. Tidak ada yang tahu apa Kiai Hamimuddin sudah membawa istri saat melarikan diri dari Belanda atau menikahi orang sini. Yang pasti, beliau diketahui memiliki tujuh orang anak dan yang saya konsenkan pada anak bungsunya, Nyai Murthosiah," jelas pria berbaju putih ini.

Nyai Murthosiah menikah dengan Kiai Thohir yang merupakan putera dari Kiai Rosyidin dari Bangil, Pasuruan. Sosok Kiai Thohir bisa disebut paling dikenal masyarakat karena karomahnya yang dapat melihat Ka'bah dari lubang area makam masjid Bungkuk. Di masa beliau juga ponpes mengalami perkembangan besar dengan jumlah alumni cukup banyak.

Grafik jumlah santri di Ponpes Bungkuk memang tidak setinggi masa Kiai Thohir. Saat ini Ponpes Bungkuk hanya memiliki 60-an santri yang berasal dari berbagai tingkatan pendidikan. "Mereka sekolahnya di luar, ada yang mahasiswa, SMP dan SMA. Di sini mereka mondok saja untuk belajar mengaji di sela-sela waktunya," jelas dia.

Dengan memanfaatkan pengajar dari keluarga, para santri diajarkan tentang kajian-kajian Islam. Dalam hal ini belajar kitab, menguatkan shalat berjamaah dan mengaji Alquran. Mereka juga sering mengadakan pengajian di Masjid At-thohiriyyah atau Mbah Thohir atau Masjid Bungkuk setiap harinya.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement