REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Sampul majalah Vogue Arabia edisi Juni ini banyak menuai kritik luas, menyusul serangkaian penangkapan aktivis hak-hak perempuan di Arab Saudi. Sampul majalah tersebut menampilkan potret seorang putri Saudi yang sedang bermalas-malasan di kursi pengemudi sebuah mobil konvertibel berwarna merah.
Tema bulan Juni yang diambil Vogue Arabia, yaitu 'perayaan para perempuan Arab Saudi', sebenarnya dimaksudkan untuk menandai berakhirnya larangan mengemudi bagi perempuan di negara tersebut. Majalah itu secara khusus menampilkan Putri Hayfa binti Abdullah al-Saud, putri almarhum Raja Saudi.
Namun, sejumlah pihak menyebut tema yang diangkat Vogue Arabia tidak peka terhadap kondisi saat ini. Sebanyak 11 aktivis telah ditangkap sejak 15 Mei lalu, yang sebagian besar adalah perempuan yang telah berjuang untuk mendapatkan hak mengemudi.
Menurut seorang juru bicara keamanan negara, para perempuan yang ditangkap itu dituduh ingin mengacaukan kerajaan, melanggar struktur sosial, dan merusak konsistensi nasional. Banyak dari mereka yang ditahan tanpa tuntutan. Media pemerintah bahkan menyebut para aktivis itu sebagai pengkhianat.
Meskipun beberapa aktivis telah dibebaskan, yang lain masih tetap dalam tahanan. Tiga di antaranya adalah aktivis terkemuka, yaitu Loujain al-Hathloul, yang sebelumnya pernah ditahan selama 73 hari pada 2014 setelah mencoba mengemudi dari Uni Emirat Arab (UEA) ke Arab Saudi; Aziza al-Yousef, yang merupakan salah satu aktivis pertama yang menuntut hak perempuan untuk mengemudi; dan Eman al-Nafjan, seorang bloger terkenal.
Sejumlah pengguna media sosial Twitter telah meminta para perempuan itu untuk dibebaskan. Mereka juga mengutuk Vogue Arabia karena kurang menunjukkan kepekaan.
"Mari kita tampilkan seorang putri yang tidak pernah berjuang untuk mencabut larangan mengemudi di sampulnya," tulis seorang pengguna Twitter, menyindir majalah tersebut.
"Seorang putri Saudi ada di sampul @VogueArabia untuk merayakan perempuan yang akhirnya diizinkan untuk mengemudi. Namun, keluarganya saat ini sedang memenjarakan para wanita perintis yang benar-benar berjuang untuk itu," tulis yang lain.
Manal al-Sharif, seorang aktivis Saudi di Australia yang berjuang dengan gerakan Women2Drive, turut memberikan tanggapan terhadap sampul majalah Vogue Arabia. Ia mendesak orang-orang untuk tidak melupakan aktivis yang ditahan kerajaan.
"Para perempuan luar biasa, yang mereka perjuangkan adalah hak-hak perempuan, mereka bertempur secara khusus dalam gerakan Women2Drive," kata al-Sharif.
Pencabutan larangan pengemudi bagi perempuan telah dipuji sebagai langkah revolusioner dalam kerajaan Muslim yang konservatif itu. Namun, Arab Saudi masih melarang pencampuran perempuan dan laki-laki di acara-acara publik.
Polisi agama juga masih memberlakukan peraturan ketat bagi perempuan, seperti membutuhkan izin dari wali laki-laki untuk bekerja atau bepergian.
Dalam beberapa tahun terakhir, Putra Mahkota Mohammed bin Salman telah memperkenalkan reformasi untuk meringankan pembatasan dan meningkatkan jumlah perempuan dalam angkatan kerja. Salah satunya adalah keputusan kerajaan yang dikeluarkan pada September lalu untuk memungkinkan perempuan mengemudi.
"Di negara kami, ada beberapa konservatif yang takut perubahan. Bagi banyak orang, ini semua sudah mereka ketahui. Secara pribadi, saya mendukung perubahan ini dengan sangat antusias," kata Putri Hayfa dalam wawancara dengan Vogue Arabia.
Akan tetapi, ada beberapa pihak yang masih tidak yakin akan janji-janji progresif Sang Putra Mahkota. "Putra Mahkota, yang telah menjadikan dirinya sebagai pembaru dengan sekutu dan investor Barat, harus berterima kasih kepada para aktivis atas kontribusi mereka pada gerakan hak perempuan Saudi," kata Direktur Human Rights Watch (HRW) Timur Tengah, Sarah Leah Whitson, dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip CNN.
"Sebaliknya, pihak berwenang Saudi justru menghukum para pejuang hak-hak perempuan ini karena telah mempromosikan tujuan yang dilakukan putra mahkota untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan," papar dia.
Juru bicara Dewan HAM PBB, Elizabeth Throssell, juga menyuarakan sentimen serupa dalam sebuah konferensi pers di Jenewa pada Selasa (28/5) lalu. "Mengingat pelonggaran pembatasan yang signifikan pada kegiatan perempuan di Arab Saudi dalam beberapa bulan terakhir, termasuk pencabutan larangan mengemudi bagi perempuan, sangat membingungkan mengapa perempuan dan laki-laki yang terlibat dalam kampanye untuk perkembangan positif seperti itu sekarang menjadi sasaran oleh pihak berwenang," ungkap Throssell.
Edisi Juni ini bukanlah pertama kalinya majalah Vogue Arabia memicu kontroversi. Pada 2011, sebuah artikel di majalah tersebut menggambarkan Asma al-Assad, istri Presiden Suriah Bashar al-Assad, sebagai "Mawar di Padang Pasir." Artikel yang diterbitkan setelah pemberontakan Suriah dimulai ini juga mendapatkan kritik luas karena dianggap tidak peka terhadap penderitaan yang dialami warga Suriah.