Sabtu 02 Jun 2018 19:22 WIB

Dituding Lakukan Pembangkangan Birokrasi, Ini Kata KPK

KPK menilai respons dari beberapa pihak berlebihan

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
 Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab komentar dan tudingan jika lembaga itu telah melakukan pembangkangan birokrasi, karena menolak dimasukkannya pasal tindak pidana korupsi dalam rancangan undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). KPK menilai, respon dari beberapa pihak berlebihan.

"Kami pandang hal tersebut tidak substansial, dan tidak ditemukan argumentasi yang dapat memperkuat upaya pemberantasan korupsi," kata Febri saat dikonfirmasi, Sabtu (2/6).

Namun, Febri melanjutkan tentu KPK merasa perlu untuk menyampaikan jika ada risiko terhadap pemberantasan korupsi yang juga merupakan salah satu perhatian dari pemerintahan saat ini. Terlebih, Presiden sangat mengecam segala bentuk korupsi yang dilakukan.

Febri menjelaskan alasan KPK menyampaikan pada Presiden, dan sejumlah pihak terkait dengan proses pembahasan UU agar dapat dipahami risiko pelemahan terhadap pemberantasan korupsi jika RKUHP seperti sekarang dipaksakan pengesahannya. Karena, berbagai upaya melemahkan KPK sudah sering terjadi.

"Dulu revisi UU KPK digagas bahkan dengan pembatasan umur dan kewenangan KPK. Memang, banyak yang terganggu dengan kerja KPK," jelasnya.

Sedangkan untuk saat ini, karena KPK percaya Presiden memiliki itikad baik mendukung pemberantasan korupsi, maka wajar jika Presiden perlu mengetahui apa pandangan KPK, oleh sebab itulah surat tersebut dikirim.

"KPK sebagai penegak hukum yang selama ini menjadi instansi yang ditugaskan UU memberantas korupsi tentu wajib menyampaikan jika ada sesuatu yang memiliki resiko melemahkan KPK," ucapnya.

Baca juga: Ini Potensi Risiko KPK dalam Revisi KUHP

Menanggapi sikap KPK yang menolak dimasukkannya pasal korupsi, anggota panitia RUU KUHP Taufiqulhadi menilai sikap KPK yang mengirim surat ke Presiden tidak etis. "Sikap KPK tersebut menurut saya tidak etis sama sekali. Kalau dia adalah anggota lembaga, dia bukan pembuat UU, tapi dia pelaksana UU," kata Taufiqulhadi dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu (2/6).

Menurutnya, sikap KPK tersebut merupakan bentuk tekanan ke seorang Kepala Negara. Ia bahkan menekankan, hal itu tidak seharusnya dilakukan oleh lembaga KPK, "kalau tidak setuju, ya keluar dark KPK , bukan memengaruhi Presiden," katanya.

Baca juga: KPK Tolak Pasal Korupsi di RUU KUHP, Pengamat: Pembangkangan

Sementara pengamat hukum dan advokat Umar Husin menyoroti sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menolak dimasukkannya pasal korupsi dalam rancangan undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Umar menilai, KPK tidak berhak menolak RUU KUHP.

"Saya menyoroti KPK yang menolak (dimasukkannya pasal korupsi pada RUU KUHP) sebagai bentuk pembangkangan atau makar," ujarnya dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Sabtu (2/6).

Umar menyayangkan KPK yang terkesan mengancam dengan menulis keberatannya berupa surat ke presiden Joko Widodo. Menurutnya apa yang dilakukan KPK tidaklah benar karena mengancam presiden Joko Widodo. Padahal, ia menegaskan tidak mungkin ada dualisme peraturan dan institusi-institusi seharusnya tidak berani melawan.

"Karena itu, presiden Joko Widodo harus bersikap tegas," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement