Senin 04 Jun 2018 00:22 WIB

Ini 6 Poin Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia ke-6

Enam poin Ijtima mengenai masalah strategis kebangsaan, terutama eksistensi NKRI.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ratna Puspita
Asrorun Niam Sholeh
Foto: ROL/Fakhtar K Lubis
Asrorun Niam Sholeh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pimpinan Sidang Pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VI Asrorun Niam Sholeh menyampaikan sejumlah hasil ijtima tersebut mengenai masalah strategis kebangsaan. Ada enam poin yang dihasilkan dari ijtima tersebut.

Pertama, papar Niam, eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada hakekatnya adalah wujud perjanjian kebangsaan (al-mitsaq al-wathani) yang berisi kesepakatan bersama (al-muahadah al-jamaiyah) bangsa Indonesia. Eksistensi NKRI ini sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 

"Hal itu ditempuh melalui serangkaian perjuangan panjang yang dilakukan oleh para pejuang, terutama para ulama dan umat Islam dari generasi ke generasi," kata dia dalam keterangan pers, Ahad (3/6).

Niam melanjutkan, perjuangan tersebut dilakukan demi mengikhtiarkan terwujudnya tata-aturan yang menjamin terpeliharanya keluhuran agama. Juga, demi kesejahteraan bagi penduduk negara-bangsa ini.

Kedua, lanjut Niam, perjanjian kebangsaan, dalam bentuk NKRI berdasarkan Pancasila dengan sila pertama menjiwai sila-sila lainnya, menegaskan religiusitas dan ketauhidan. Perjanjian itu secara syar'i mengikat seluruh elemen bangsa yang wajib dipelihara dan dijaga dari setiap upaya mengubahnya.

"Hal itu merupakan manifestasi kecintaan kepada negara dan bangsa (hubb al-wathan) yang merupakan bagian dari keimanan," ujarnya.

Ketiga, kata Niam, setiap upaya menjaga dan memelihara perjanjian kebangsaan tersebut akan menghadapi tantangan dan ancaman dari dalam dan luar negeri. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan.

Kepentingan tersebut berasal dari kelompok masyarakat di dalam negeri, dari suatu negara tertentu, atau dari aliansi kelompok masyarakat dalam negeri dengan negara-negara tertentu. "Karena adanya kepentingan yang sama dan mengancam kelangsungan eksistensi dan kedaulatan negara dan bangsa ini," ucap dia.

Niam mengatakan, keempat, saat ini, era penjajahan fisik telah berlalu. Akan tetapi, agresi dalam bentuk lain tetap mengancam, seperti dalam bidang pemikiran, ekonomi, pendidikan, moral, sosial, dan budaya. 

Berbagai skenario pelemahan eksistensi negara pun dilancarkan secara sistematis. Misalnya, dia menyebutkan, dengan melakukan perubahan peraturan perundang-undangan yang secara jangka panjang akan memperlemah negara.

"Juga, pengendalian media massa sebagai pembentuk opini publik sesuai dengan tujuan yang diinginkan," ujar dia.

Kelima, papar Niam, dengan dasar pemikiran di atas, harus dilakukan upaya bela negara untuk mempertahankan eksistensi NKRI. Upaya tersebut dengan memperkokoh karakter bangsa dan pilar-pilar kebangsaan, menuju tercapainya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik.

"Demi memperoleh ridha Allah SWT danterwujudnya masyarakat yang berkualitas (khairu ummah)," katanya.

Keenam, untuk memperkuat negara dan bangsa serta menghindari terjadinya pengkhianatan terhadap perjanjian kebangsaan, perlu dilakukan upaya negara untuk wajib mewujudkan kehidupan yang berkeadilan. Terutama, dalam bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik, sehingga tercipta rasa adil, aman, dan sejahtera secara merata.

Selain itu, tiap warga negara wajib melakukan bela negara, sehingga dapat mengantisipasi segala bentuk ancaman yang datang dari dalam maupun luar, pengkhianatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) serta upaya mengubah bentuk negara-bangsa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement