REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Kota Medan dinilai sebagai kota besar yang paling rawan dengan korupsi. Medan juga tidak kondusif dalam membuka daya saing lokal dan pengembangan usaha.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik Donal Fariz mengatakan, data itu merupakan hasil penelitian mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilakukan Transparansi Internasional Indonesia. Dari 12 kota besar di Tanah Air yang diteliti Transparansi Internasional Indonesia, Kota Medan menempati peringkat terendah.
"Ini kado buruk bagi kita menjelang berbuka puasa," katanya dalam Diskusi Publik "Sumut Darurat Korupsi" di Medan, Ahad (3/6).
Menurut Donal, dalam Indeks Persepsi Korupsi yang disurvei Transparansi Internasional Indonesia, Kota Medan mendapatkan nilai terendah, yakni 37,4 persen. Peringkat terendah juga dicatat dalam aspek mendukung daya saing lokal, yakni 50,1 persen dan kemudahan berusaha 41,1 persen.
Rendahnya penilaian terhadap Indeks Persepsi Korupsi tersebut karena lemahnya kualitas pelayanan di berbagai perizinan publik dan belum kuatnya political will pemerintah daerah. Ia mencontohkan aspek proses perizinan, kasus korupsi, dan proses reformasi birokrasi yang belum maksimal dijalankan Pemkot Medan.
Intuk tingkat provinsi, ICW menilai Sumatra Utara menempati peringkat ketiga sebagai provinsi yang paling banyak terjadi dugaan praktik korupsi. Peringkat pertama ditempati Provinsi Jawa Timur dengan 68 kasus korupsi dan potensi kerugian negara mencapai Rp 90,2 miliar.
Kemudian, disusul Provinsi Jawa Barat dengan 42 kasus korupsi dan kerugian negara sekitar Rp 647 miliar. Sedangkan Sumatra Utara sebanyak 49 kasus dengan kerugian negara Rp 286 miliar.
Biaya pilkada
Diskusi yang sama juga membahas mengenai penyelenggaraan biaya pilkada. Pilkada yang menghabiskan biaya besar memiliki kaitan erat dengan perilaku korupsi jika menang dan menjalankan pemerintahan.
Donal mengatakan, semua pihak sudah memaklumi jika pilkada berkaitan dengan pengeluaran biaya yang besar. Untuk mendapatkan dukungan parpol agar bisa mencalonkan diri, peserta pilkada diyakini harus mengeluarkan biaya yang cukup besar.
Fenomena itu sempat mencuat dalam pilkada di Pulau Jawa dengan adanya isu salah satu parpol meminta "mahar politik" hingga Rp 40 miliar dari bakal calon yang meminta dukungan. Karena itu, ICW cukup kaget ketika ada peserta pilkada yang "memborong" parpol untuk mendapatkan dukungan yang kuat. Apalagi jika calon tersebut berasal dari luar parpol.
"Hampir dipastikan itu tidak gratis. Orang yang sudah berkarat dan berlumut di partai saja tidak gratis untuk mendapatkan dukungan," kata dia.
Lain lagi dengan operasional pemenangan dan mempersiapkan saksi agar tidak dicurangi dalam pemungutan suara dan distribusi hasil penghitungan suara. Jika di Sumut ada 100 tempat pemungutan suara (TPS) dengan mempersiapkan dua saksi yang diberikan honor Rp 100 ribu per orang, berarti peserta pilkada harus mengeluarkan biaya sedikitnya Rp20 miliar untuk saksi.
Lain lagi dengan persiapan alat peraga kampanye. "Karena itu, tidak mengherankan jika perkiraan untuk pilkada provinsi menghabiskan minimal Rp100 miliar," ujar Donal.
Kemudian, kata dia, potensi pengeluaran pilkada menjadi semakin besar jika harus "membeli" suara dengan memberikan uang kepada masyarakat agar mau memilih calon tertentu. Ironisnya lagi, praktik politik uang (money politic) tersebut sangat memungkinkan karena masyarakat sudah sangat permisif dan seolah-olah mulai mengabaikan nilai moralitas.
"Diberi Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu mau, sudah tidak peduli lagi dengan program," katanya.
Karena itu, sangat wajar jika pilkada yang harus mengeluarkan biaya besar memiliki kerawanan terhadap korupsi. Untuk itu, ICW mengharapkan masyarakat untuk menjadi pemilih cerdas dan memilih calon yang memiliki portofolio antikorupsi.
"Kalau calonnya pernah pemerintahan, seberapa antikorupsi dia ketika menjabat. Kalau dia swasta, seberapa antikorupsi dia dalam berwiraswasta," kata Donal.