REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut membangkang karena menolak RKUHP dan melapor pada Presiden RI Joko Widodo. Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak sepakat dengan pendapat itui.
"Yang dilakukan KPK bukan pembangkangan. Yang dilakukan KPK menyelamatkan rumahnya," kata anggota ICW, Lalola Easter, menegaskan saat dihubungi, Senin (4/6).
Easter menjelaskan, jika DPR menjalankan fungsinya dengan baik, tentunya KPK tidak akan bertindak jauh sampai mengirimkan surat pada Presiden. Sayangnya, sebagai lembaga pembuatan undang-undang, DPR tidak mengindahkan penolakan KPK maupun masukan dari LSM-LSM antikorupsi.
"Masalahnya DPR ini dikasih kritik enggak mau denger. Dikasih masukan halus gak denger, masyarakat sipil sudah berkali-kali membuat daftar masukan, memberikan masukan pasal-pasal alternatif itu juga tidak diakomodasi. Jadi, DPR ini sebenarnya mewakili kepentingan siapa kalau pihak-pihak yang berkepentingan dengan RKUHP ini tidak didengar?" tanya Easter.
Maka tidak heran, menurut dia, jika kemudian KPK memilih berkirim surat ke Istana. Sebab, KPK sebagai lembaga yang nantinya akan menjalankan undang-undang tersebut merasa dirugikan jika RKUHP tetap disahkan, tanpa mengindahkan masukan KPK.
Baca juga: KPK Tolak Pasal Korupsi di RUU KUHP, Pengamat: Pembangkangan
Sebelumnya, anggota Panitia Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), Taufiqulhadi, menilai langkah KPK mengirim surat resmi ke DPR hingga Presiden Joko Widodo sehubungan penolakan dimasukkannya pasal tindak pidana korupsi sebagai tidak etis. Apalagi posisi KPK adalah sebagai pelaksana undang-undang.
KPK menilai dimasukkannya tindak pidana korupsi di dalam rancangan tersebut berisiko memperlemah KPK dalam pemberantasan korupsi. Di samping itu, KPK berjalan dengan menganut pada aturan khusus, yaitu UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Sikap KPK tersebut, menurut saya, tidak etis sama sekali. Kalau dia adalah anggota lembaga, dia bukan pembuat UU, tapi dia pelaksana UU," kata Taufiqulhadi.
Sementara itu, KPK menjawab komentar dan tudingan bahwa lembaga itu telah melakukan pembangkangan birokrasi karena menolak dimasukkannya pasal tindak pidana korupsi dalam rancangan undang-undang (RUU) kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). KPK menilai, respons dari beberapa pihak berlebihan.
"Kami pandang hal tersebut tidak substansial, dan tidak ditemukan argumentasi yang dapat memperkuat upaya pemberantasan korupsi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Sabtu (2/6).
Namun, Febri melanjutkan, tentu KPK merasa perlu untuk menyampaikan jika ada risiko terhadap pemberantasan korupsi yang juga merupakan salah satu perhatian dari pemerintahan saat ini. Terlebih, Presiden sangat mengecam segala bentuk korupsi yang dilakukan.
Febri menjelaskan alasan KPK menyampaikan pada Presiden dan sejumlah pihak terkait dengan proses pembahasan UU agar dapat dipahami risiko pelemahan terhadap pemberantasan korupsi jika RKUHP seperti sekarang dipaksakan pengesahannya. Sebab, berbagai upaya melemahkan KPK sudah sering terjadi.
"Dulu revisi UU KPK digagas bahkan dengan pembatasan umur dan kewenangan KPK. Memang, banyak yang terganggu dengan kerja KPK," katanya.
Sementara itu, untuk saat ini, karena KPK percaya Presiden memiliki iktikad baik mendukung pemberantasan korupsi, wajar jika Presiden perlu mengetahui apa pandangan KPK. Oleh sebab itulah, surat tersebut dikirim.
"KPK sebagai penegak hukum yang selama ini menjadi instansi yang ditugaskan UU memberantas korupsi tentu wajib menyampaikan jika ada sesuatu yang memiliki resiko melemahkan KPK," ucapnya.
Baca juga: KPK tak Ingin RUU KUHP Jadi Kado Membahayakan