REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali, mengatakan pengesahan draf Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota merupakan wewenang Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). DPR menanti sikap akhir Kemenkumham terkait draf aturan yang juga memuat larangan calon anggota legislatif (caleg) mantan narapidana kasus korupsi ini.
"Legalisasi draf PKPU pencalonan caleg itu ada di tangan Kemenkum-HAM. Jadi, mereka mengundangkan sesuatu yang sesuai dengan undang-undang. Jadi kalau tidak sesuai dengan undang-undang maka Kemenkumham tidak berani melakukan pengundangan atau pencantuman di lembaran negara," ujar Zainuddin kepada wartawan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6).
Dia melanjutkan, sinyal dari Presiden Joko Widodo yang ditunjukkan dengan pernyataannya beberapa waktu lalu juga belum pasti menentukan nasib draf PKPU Pencalonan Caleg ini. "Sikap Kemenkumham kita lihat seperti apa. Sebab Presiden sama kok, Presiden tetap sesuai undang-undang dan tidak ada permintaan untuk itu (agar aturan larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg untuk diakomodasi)," ujar Amali.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kemenkum-HAM,Widodo Ekatjahyana, mengatakan ada sejumlah mekanisme yang harus dilakukan KPU saat mengajukan draf PKPU pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk disahkan. Jika draf PKPU itu bertentangan dengan peraturan di atasnya, Kemenkum-HAM bisa menolak pengesahan itu.
Menurut Widodo, pengesahan draf PKPU menjadi PKPU tidak hanya sekedar diberi nomor. Ada mekanisme dan ketentuan agar draf PKPU itu bisa disahkan.
"Pihak yang mengajukan peraturan, dalam hal ini KPU , harus membuat pernyataan yang isinya hasil telaah mereka terhadap aturan yang diajukan. Pernyataan tertulis tersebut antara lain menjelaskan dua hal," ujar Widodo.
Pertama, aturan yang diajukan oleh KPU dipastikan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Kedua, aturan yang diajukan untuk disahkan itu juga tidak boleh bertentangan dengan putusan pengadilan, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan demikian, Widodo membenarkan jika proses pengesahan draf PKPU yang memuat aturan larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg itu membutuhkan waktu. "Tidak bisa sehari-dua hari (pengesahannya)," tutur dia.
Lebih lanjut, Widodo menjelaskan, dalam konteks pengesahan draf PKPU pencalonan caleg, KPU harus menyampaikan alasan-alasan kuat yang mendasari usulannya. Sebab, draf PKPU itu memuat aturan larangan caleg mantan narapidana korupsi yang saat ini ramai menjadi perdebatan publik.
Terlebih, Widodo mengikuti perkembangan bahwa Kementerian Dalam Negeri, Bawaslu dan DPR satu suara menyatakan usulan ini bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. "Maka untuk memastikannya, kami menunggu dulu pernyataan tertulis dari KPU. Jika syarat menyampaikan pernyataan ini tidak dipenuhi maka kami tidak akan proses (pengesahannya)," katanya.
Saat disinggung tentang kemungkinan penolakan draf PKPU ini, Widodo enggan berspekulasi. Dirinya menekankan jika adanya pernyataan tertulis dari KPU sangat penting.
"Sebab pernyataan itu juga hasil telaah mereka (KPU), yang menunjukkan adanya pertentangan atau tidak dengan aturan di atasnya. Jika bertentangan dengan undang-undang, jelas akan kami tolak," tegasnya.
Widodo menambahkan, usai pernyataan KPU diterima pun, nantinya akan ada proses klarifikasi. Proses ini melibatkan instansi terkait dan ahli hukum.
Tujuannya, untuk memastikan peraturan yang diusulkan tidak bertentangan dengan UU dan keputusan MK. Menurutnya, proses yang cukup panjang ini diterapkan sejak akhir 2017.
Penyebabnya, ada banyak peraturan menteri yang telah dicabut atau peraturan lain yang sudah dibatalkan, kemudian dimasukkan kembali dalam rancangan peraturan baru oleh sejumlah instansi."Kalau kami hanya memberikan nomor buat pengesahan, maka risikonya akan fatal. Kita memberikan kontribusi buat kesalahan," ungkap Widodo.
Sementara itu, Menkumham, Yasonna Laoly, mengakui ada dilema soal pengesahan aturan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. Dirinya tetap menegaskan jika KPU sebaiknya tidak menabrak undang-undang dalam membuat aturan teknis pemilu.
"Saya konsisten, menurut saya aturan ini bertentangan dengan UU Pemilu. Jadisaya diletakkan dalam dilema. Nanti kalau kita undangkan (mengesahkan larangan mantan narapidana kasus korupsi jadi caleg), maka kami dianggap menyetujui aturan yang ada di bawah UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ," ujarnya kepada wartawan di Kantor Kemenkum-HAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (31/5).