Selasa 05 Jun 2018 05:21 WIB

Mengubur Radikalisme di Kampus

Aliran dana terduga teroris di Unri ditelusuri.

Tim Densus 88 bersama tim Gegana Brimob Polda Riau membawa barang yang mencurigakan dari area penggeledahan gedung Gelanggang Mahasiswa Kampus Universitas Riau (UNRI) di Pekanbaru, Riau, Sabtu (2/6).
Foto: Antara/Rony Muharrman
Tim Densus 88 bersama tim Gegana Brimob Polda Riau membawa barang yang mencurigakan dari area penggeledahan gedung Gelanggang Mahasiswa Kampus Universitas Riau (UNRI) di Pekanbaru, Riau, Sabtu (2/6).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Gumanti Awaliyah, Arif Satrio Nugroho

Pemerintah akan melakukan monitoring kepada para dosen dan mahasiswa menyusul maraknya temuan radikalisme di kampus. Salah satu pengawasan yang akan dilakukan, yaitu dengan mendata nomor telepon seluler dan akun media sosial milik dosen dan mahasiswa.

“Kami lakukan pendataan. Dosen harus mencatat nomor HP yang dimiliki. Mahasiswa, medsosnya dicatat. Tujuannya, agar mengetahui lalu lintas komunikasi mereka itu seperti apa dan dengan siapa,” kata Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir di Jakarta, Senin (4/6).

Menurut Menristekdikti, pendataan bukan bermaksud untuk merenggut hak privasi dosen, mahasiswa, dan semua sivitas kampus. Bentuk pengawasan mau tidak mau harus dilakukan demi terwujudnya kampus yang steril, bersih, dan aman dari segala bentuk paham radikal.

“Kalau mengganggu keamanan, apa pun bentuk (pengawasan)-nya, ya harus dilakukan,” tegas Nasir.

Nasir tidak menutup kemungkinan, saat ini masih banyak kampus yang telah terpapar paham radikal, tetapi belum terdeteksi. Mengingat, paham radikal mulai tumbuh di ranah kampus sejak 1983 ketika dibentuknya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK BKK).

Nasir memastikan, saat ini pemerintah tidak akan melakukan cara yang sama seperti halnya NKK BKK untuk menangkal radikalisme di kampus. Sebab, jika dihidupkan kembali, kampus berpotensi kembali menjadi wahana politik.

“Dan, itu bahaya. Jadi, nanti kami akan mendesain kurikulum agar kampus harus bisa memahami keamanan di Indonesia. Supaya kita mendapat kepercayaan dari dunia. Kalau kampus tidak aman, bagaimana orang asing mau masuk?” kata dia.

Nasir pun mengimbau kepada semua rektor perguruan tinggi untuk memperhatikan hubungan antara sivitas kampus dan alumni. Kendati belum ada regulasi khusus yang mengatur hal tersebut, hubungan alumni yang datang ke kampus merupakan tanggung jawab rektor.

Untuk memastikan itu, dalam waktu dekat Nasir akan mengumpulkan semua rektor dan berbicara secara detail mengenai pencegahan dan pengawasan terkait radikalisme di kampus. “Tanggal 25 Juni saya akan kumpulkan semua rektor, direktur, petinggi kampus. Nanti saya akan bicara secara detail tentang radikalisme di kampus, pencegahannya, dan juga pengawasan,” ujar Nasir.

Anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Profesor Asep Saifuddin mengajak semua rektor dan pimpinan perguruan tinggi untuk proaktif dalam mencegah dan menanggulangi penyebaran paham radikal di kampus. Misalnya, dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait terorisme, ulama, hingga melakukan upaya yang sistematik.

“Mereka (rektor) akan lebih baik memikirkan bagaimana upaya konkret dalam menjabarkan Pancasila. Indonesia ini butuh kebersamaan dan kekompakan untuk maju, rektor jangan harap masalah ini selesai dengan sendirinya. Tidak. Perlu kerja sama dan upaya sistematik,” kata Asep.

Pentingnya sterilisasi paham radikal di kampus mengemuka setelah Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menggerebek Universitas Riau (Unri) dan menangkap sejumlah terduga teroris yang merupakan alumni universitas tersebut. Meski demikian, Polri berharap aktivitas ini tidak lantas menimbulkan anggapan bahwa kampus erat dengan radikalisme dan terorisme.

“Jangan diframing seolah-olah masalah radikalisme terduga teroris dengan lokasi akademisi. Sekali lagi saya tegaskan, (wilayah) kampus adalah (wilayah) sivitas akademika, (sedangkan para pelaku di Unri) ini adalah oknum,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Polisi Mohammad Iqbal.

Iqbal melanjutkan, sampai saat ini, Polri masih menelusuri aliran dana terduga teroris yang ditangkap di Unri pada Sabtu (2/6) lalu. Seorang tersangka berinisial MNZ diketahui berperan dalam perakitan bom. Polri berupaya menelusuri asal muasal ataupun pemesan dalam perakitan bom tersebut.

“Tim itu pasti bercabang dan ada subtim termasuk tim yang akan melakukan penyelidikan scientific identification di bidang anggaran,” Iqbal.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon meyakini, kampus-kampus di Indonesia jauh dari radikalisme dan tindakan terorisme. Menurut dia, di tengah kampus-kampus dalam negeri yang modern serta mahasiswa yang cerdas, tidak mungkin kampus disusupi terorisme.

“Apalagi, sampai kegiatan pembuatan bom atau semacamnya. Saya tidak yakin. Dari dulu saya tidak percaya. Masa di dalam kampus ya, apalagi ini kampus negeri lebih punya pengamanan dan sebagainya,” kata Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (4/6).

Politikus Partai Gerindra tersebut justru meyakini ada pihak dari luar yang memanfaatkan kampus lantaran kampus merupakan tempat yang dianggap aman.

Kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang sejumlah cendekiawan Muslim ke Istana Negara. Dalam pertemuan ini Jokowi meminta pandangan kepada mereka terkait perkembangan radikalisme, khilafah, hingga intoleransi di Indonesia.

Cendekiawan muslim Azyumardi Azra mengatakan, dalam pertemuan tersebut juga dibicarakan mengenai hal yang bisa merusak ketahanan, sosial, budaya, dan ekonomi, termasuk mengenai kesenjangan di daerah.

(debbie sutrisno/febrianto adi saputro, Pengolah: eh ismail).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement