REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, mengatakan pihaknya masih optimis bahwa aturan larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) bisa disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Menurutnya, Kemenkumham hanya tinggal melakukan pengundangan terhadap usulan aturan ini.
Aturan larangan ini tercantum dalam draf Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. Draf PKPU ini sudah diserahkan oleh KPU kepada Kemenkumham pada Senin (4/6) sore.
Arief mengungkapkan, Kemenkumham nantinya akan mengundangkan atau draf KPU itu agar sah menjadi PKPU Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. "Selama ini aturan Pengesahan draf PKPU memang seperti itu," ujar Arief kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (4/6) malam.
Karena itu, pihaknya optimistis juga draf ini bisa segera disahkan. "Sepanjang secara administratif sudah tidak ada masalah, maka draf PKPU ini bisa diundangkan," tegasnya.
Sementara saat disinggung tentang pernyataan Menkumham, Yasonna Laoly, yang menyatakan tidak mau mengesankan aturan ini karena bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Arief enggan berspekulasi. Menurutnya, peluang untuk pengesahan draf PKPU tetap ada.
"Siapa tahu besok diundangkan. Sebab selama ini prosesnya begitu (tidak rumit)," tambahnya.
Terpisah, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, mengatakan selama ini belum pernah terjadi penundaan pengesahan draf PKPU oleh Kemenkumham. "Sepengetahuan saya selama hampir 20 tahun menjadi anggota KPU, belum pernah ada PKPU yang pengesahannya tertunda gara-gara sikap Kemenkumham yang tidak sependapat dengan norma-norma yang ada dalam (draf) PKPU," ujar Wahyu kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan, secara substansi draf PKPU soal pencalonan caleg itu sudah ditandatangani oleh Ketua KPU berdasarkan hasil rapat pleno. Setelah diserahkan kepada Kemenkumham, maka hanya tinggal diundangkan saja.
"Jadi, pemerintah tidak dalam posisi menolak atau tidak menolak. Namun, kami tetap akan mengkomunikasikan dengan pemerintah sebagai mitra kerja kami," tuturnya.
Wahyu melanjutkan, KPU juga sudah mempersiapkan diri untuk mematangkan argumentasi mengenai landasan dimasukkannya larangan caleg dari mantan narapidana korupsi dalam draf PKPU Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ini dilakukan sebagai persiapan jika ada pihak-pihak yang nantinya mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
"Kami sudah mulai berdiskusi dengan akademisi, kelompok pemerhati pemilu, ahli hukum pidana, ahli hukum tata negara untuk membangun landasan yang kokoh soal norma yang ada dalam draf PKPU itu, " ungkapnya.
Berdasarkan revisi terakhir draf PKPUPencalonan Anggota DPR,DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang saat ini telah diserahkan ke Kemenkumham, larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg tercantum pada pasal 7 ayat 1 huruf (h). Aturan itu berbunyi 'Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten kota harus memenuhi persyaratan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi'.
Sementara itu, pada draf sebelumnya, aturan ini tertuang dalam pasal 7 ayat 1 huruf (j) rancangan PKPU pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Peraturan itu berbunyi'bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota adalah WNI dan harus memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi'.
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Widodo Ekatjahyana, sebelumnya mengatakan ada sejumlah mekanisme yang harus dilakukan KPU saat mengajukan draf PKPU pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk disahkan. Jika draf PKPU itu bertentangan dengan peraturan di atasnya, Kemenkumham bisa menolak pengesahan itu.
Menurut Widodo, pengesahan draf PKPU menjadi PKPU tidak hanya sekedar diberi nomor. Ada mekanisme dan ketentuan agar draf PKPU itu bisa disahkan.
"Pihak yang mengajukan peraturan, dalam hal ini KPU , harus membuat pernyataan yang isinya hasil telaah mereka terhadap aturan yang diajukan. Pernyataan tertulis tersebut antara lain menjelaskan dua hal," ujar Widodo ketika dihubungi Republika, Ahad (3/6).
Pertama, aturan yang diajukan oleh KPU dipastikan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Kedua, aturan yang diajukan untuk disahkan itu juga tidak boleh bertentangan dengan putusan pengadilan, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK).