Selasa 05 Jun 2018 09:16 WIB

Satu Tahun Boikot Qatar, Situasi tak Terselesaikan

Baik Emir Qatar maupun Menlu Qatar menegaskan bersedia bernegosiasi.

Rep: Crystal Liestya Purnama/ Red: Bilal Ramadhan
Peta Baru Timur Tengah
Foto: Global Research
Peta Baru Timur Tengah

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Satu tahun lalu, Arab Saudi dan sekutu-sekutunya memutuskan hubungan dengan Qatar. Terlepas dari upaya mediasi tingkat tinggi Kuwait, Amerika, dan Eropa yang serius, situasi tetap tidak terselesaikan dan macet.

Ketegangan regional memanas pada 5 Juni 2017, ketika Arab Saudi dan sekutunya, Bahrain, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA), memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Qatar. Perbatasan darat dan maritim dengan negara Teluk ditutup, hubungan udara ditangguhkan, dan warga Qatar diusir.

Keretakan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) mengikuti kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Arab Saudi pada bulan Mei. Dia bertemu dengan para pemimpin negara-negara Islam. Mereka menuduh Doha mendukung "teroris" dan terlalu dekat dengan musuh Arab Saudi, Iran.

Riyadh mengatakan, pihaknya bertindak untuk "melindungi keamanan nasionalnya dari bahaya terorisme dan ekstremisme". Sampai saat ini Qatar telah sangat menolak tuduhan yang dilontarkan terhadapnya. Pihaknya melihat itu sebagai upaya untuk memaksakan penahanan atas bangsanya.

Pada saat itu, menurut laporan Aljazirah, Selasa (5/6), Bahrain dan Mesir sama-sama memberi tenggat waktu kedutaan Qatar selama 48 jam untuk meninggalkan negara mereka, seraya menarik kembali diplomat dan dakwaan mereka sendiri dari Doha.

Sementara itu, UAE dan Arab Saudi memberi waktu dua pekan bagi warga Qatar yang tinggal di negara mereka untuk pergi. Keduanya juga memerintahkan warga mereka sendiri yang tinggal di Qatar untuk kembali.

Kerajaan kaya minyak itu juga menutup biro Riyadh untuk Al Jazeera Media Network. Yordania mengikutinya dan mengumumkan akan mengurangi hubungan diplomatiknya dengan Qatar. Di sebuah negara yang sangat bergantung pada impor makanan, muncul kekhawatiran tentang apakah penutupan perbatasan akan menyebabkan kekurangan pangan di Qatar.

Namun, negara-negara seperti Iran dan Turki telah meningkatkan ekspor makanan mereka ke Doha sehingga menghasilkan supermarket-supermarket yang lengkap dengan stok makanan. Pada 22 Juni, keempat negara Teluk itu memberi Qatar 10 hari untuk mematuhi 13 tuntutan mereka.

Tuntutan-tuntutan itu termasuk menutup Aljazirah dan pangkalan militer Turki di Doha, serta membatasi hubungan dengan Iran. Setelah perpanjangan waktu selama dua hari, Qatar menolak daftar tuntutan itu sebagai "tidak realistis". Pihaknya menggambarkan tuntutan itu tidak dapat ditindaklanjuti.

Keempat negara ini menanggapi dengan mengancam sanksi baru. Pada 25 Juli, mereka meluncurkan daftar hitam "teroris" dari 18 kelompok dan individu, yang mereka klaim memiliki hubungan dengan Qatar.

Daftar hitam itu kemudian berkembang hingga mencakup 90 nama, sebagian berafiliasi dengan Bulan Sabit Merah Qatar, Persatuan Ulama Muslim Internasional, dan Dewan Islam Internasional untuk Dakwah dan Bantuan. Blokade tersebut telah mengganggu bisnis, pendidikan, dan transportasi antara Qatar dan negara-negara tetangganya, sementara juga mengoyak perkawinan antarnegara GCC.

Qatar menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh negara-negara pemblokiran sebagai "tidak ada pembenaran yang sah", dengan mengatakan keputusan tersebut melanggar kedaulatannya.

Baik Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad al-Thani dan menteri luar negeri negara itu, Syekh Mohammad bin Abdulrahman al-Thani, telah menegaskan negara Teluk itu bersedia bernegosiasi dengan negara-negara boikot dan telah menyambut panggilan dari para pemimpin internasional agar duduk untuk berunding. Meskipun usaha dari berbagai pihak selama ini masih belum membuahkan hasil.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement