Selasa 05 Jun 2018 15:16 WIB

Pemerintah Bahas Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional

DKN berperan melakukan pencegahan dan penyelesaian konflik.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Hafil
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto bersama dengan beberapa tokoh masyarakat membahas peraturan presiden (perpres) pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Lembaga baru ini dibentuk untuk menyelesaikan masalah konflik sosial dalam skala nasional.

"Konsep Perpresnya yang tadi dibicarakan, masukan-masukannya. Setelah Perpres dilaporkan ke bapak Presiden, terus dikeluarkan Keputusan Presiden untuk 17 orang," ujar mantan Menteri Kehakiman Muladi usai pertemuan di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (5/6).

Muladi menerangkan, DKN nantinya berperan untuk melakukan pencegahan, antisipasi, dan penyelesaian konflik sosial berskala nasional. Ia memberikan contoh, fokus lembaga tersebut akan kepada masalah-masalah dalam menghadapi pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan pemilihan presiden (Pilpres).

"Bukan, ini menyelesaikan masalah konflik sosial dalam skala nasional. Masalah HAM itu nanti Jaksa Agung," kata dia.

Sebelumnya, pada 2017 lalu, Wiranto mengatakan Presiden Joko Widodo telah menyetujui dibentuk DKN. Menurutnya, DKN perlu dibentuk karena Indonesia memiliki sejarah, dan setiap suku bangsa di Indonesia selalu menyelesaikan masalah terlebih dahulu dengan cara musyawarah mufakat.

Menurutnya, lembaga-lembaga adat yang ada di seluruh negeri ini memiliki benang merah yakni menyelesaikan konflik dengan cara-cara musyawarah mufakat, dengan cara damai, bukan dengan cara-cara konflik.

"Karena kita mengadopsi undang-undang dari Eropa maka kalau ada masalah, kasus yang ada di masyarakat maka kita larikan ke proses peradilan, proses projustisia," kata Wiranto.

Menkopolhukam berharap dengan dibentuk Dewan Kerukunan Nasional, jika ada konflik di masyarakat proses yang diinginkan adalah akan diselesaikan dengan cara-cara nonprojustisia, bukan dengan cara konflik di peradilan.

"Yang berlaku sekarang ini yang masuk dulu adalah Komnas HAM, karena Komnas HAM memiliki peran menyelidiki permasalahan, menyelidiki kasus untuk dibawa ke peradilan," kata Wiranto.

Menkopolhukam menilai semua kasus di Indonesia didorong masuk proses peradilan, sehingga tidak sesuai dengan budaya Indonesia sehingga perlu dibentuk adanya Dewan Kerukunan Nasional.

"Katakanlah sebagai bagian dari usaha mengganti posisi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dululah. KKR tidak disetujui oleh Mahkamah Konstitusi," kata Wiranto lagi.

Namun Menkopolhukam menyebutkan hal itu untuk menghidupkan kembali KKR, tetapi lebih menghidupkan falsafah bangsa Indonesia yang menyelasaikan masalah dengan cara musyawarah mufakat.

Sementara, DKN juga akan menghidupkan mekanisme mediasi dalam melakukan penyelesaian konflik sosial. Mereka akan bertugas untuk menangani konflik sosial berskala nasional di luar jalur peradilan.

"Sepanjang hal-hal yang tidak melalui proses peradilan. Di luar proses itu ada juga kami mau menghidupkan mekanisme mediasi, mekanisme yg sifatnya pendekatan budaya, tradisi, kehidupan berbangsa," ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.

Menurutnya, sifat-sifat tersebut merupakan aset kekayaan bangsa. Ia menilai, dengan adanya aset tersebut, jangan semua masalah diselesaikan dengan pendekatan hukum, apalagi dengan hukum pidana yang bersifat kaku, keras, serta menang dan kalah.

"Walaupun si A menang atau B kalah, belum tentu memuaskan dendam. Maka, jangan semua masalah diselesaikan dengan hukum," tuturnya.

Hal lain yang Jimly nilai perlu untuk disadari, yakni jika semua masalah diselesaikan dengan cara hukum, penjara yang kini tengah kelebihan kapasitas akan semakin bertambah banyak isinya. Ia menerangkan, saat ini semua penjara, terutama di kota-kota besar, sudah penuh.

"Jadi untuk menyadarkan semua orang, janganlah semua masalah diselesaikan secara hukum. Kalau semua dengan hukum ya ujungnya penjara," tambahnya.

Ia pun mengatakan, dari sekian banyak orang yang masuk penjara, 30 persennya saja yang bertaubat. Sisanya, 30 persen masih menaruh dendam dan 40 persennya ada yang kembali lagi berbuat hal yang tidak seharusnya.

"Maka ini mau mengembangkan pendekatan yang lebih kultural, setidaknya begitu. Supaya mencegah, mengatasi, dan menyelesaikan konflik yang ada," kata Jimly.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement