REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia dan pemerintah menampik inflasi inti Ramadhan tahun ini yang cenderung rendah dibanding tiga tahun terakhir mencerminkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat.
Bank Sentral memandang laju inflasi inti (core inflation) hingga Mei 2018 sebesar 0,19 persen (bulanan/mtm) dan 2,75 persen (tahun ke tahun/yoy) masih mencerminkan kenaikan permintaan dan harga barang. Sehingga tidak sepenuhnya merefeksikan daya beli masyarakat yang menurun.
"Kami lihat sekarang inflasi inti masih naik, berarti masih ada kenaikan harga, masih ada pergerakan suplai dan permintaan. Jika terjadi deflasi, itu yang bisa mencerminkan tidak adanya daya beli," ujar Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Reza Anglingkusumo di Jakarta, Selasa (5/6).
Inflasi inti pada Mei 2018 yang sebesar 0,19 persen (mtm) merupakan inflasi di mayoritas momentum Ramadhan yang terendah sejak 2014. Jika secara rata-rata, inflasi inti pada Ramadhan selama empat tahun terkahir sebesar 0,32 persen (mtm).
Pedagang menyiapkan ayam yang dijualnya di Pasar Kodim, Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (25/5). Kemendag mewaspadai fluktuasi harga daging ayam dan telur selama Ramadhan.
Asisten Deputi Moneter Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi P. Pambudi mengklaim pemerintah juga tidak mendeteksi adanya pelemahan daya beli masyarakat. Dia berdalih masih rendahnya tekanan inflasi inti karena masyarakat menyesuaikan pola konsumsinya karena terdapat liburan panjang usai Leburan menyusul masa cuti Lebaran yang lebih lama.
"Jika ingin dibandingkan tahun lalu itu sangat relatif. Apalagi tahun ini ada Libur Lebaran panjang, jadi bisa saja masyarakat mengutamakan mudik dan liburan dibanding belanja," ujar dia. Selain itu, kata Edi, data penjualan di pasar ritel juga membaik.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Kementerian Keuangan Adriyanto menjelaskan saat ini harga beberapa komoditas pangan, seperti beras, bawang, dan cabai masih terjaga. "Kalau ada penurunan daya beli, itu daya beli masyarakat tergerus karena kenaikan harga, tapi beberapa komoditas malah deflasi. Jadi sebetulnya bukan daya beli, tapi di preferensi belanja. Kami juga lihat indikator Nilai Tukar Petani juga sudah membaik," ujarnya.
Namun, untuk beberapa komoditas bahan pangan memang terjadi kenaikan harga pada Mei 2018 seperti daging ayam ras dan telur.
Pengamat ekonomi dari Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi menilai, inflasi Mei 2018 sebesar 0,21 persen (month to month/mtm) dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang belum pulih. Hal itu membuat tingkat inflasi pada Mei tahun ini lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang sebesar 0,39 persen.
"Memang konsumsi rumah tangga masih belum tumbuh kuat dan daya beli masih belum pulih," kata Eric ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (4/6).
Ia menilai, faktor permintaan yang belum tumbuh kuat membantu inflasi terkendali di periode Ramadhan tahun ini. Meski begitu, ia tak menampik, terdapat perbaikan pula dari sisi suplai seperti kebijakan impor beras. Kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan BBM bersubsidi dan Tarif Dasar Listrik (TDL) tahun ini juga dinilai membantu inflasi tetap terjaga.