Selasa 05 Jun 2018 18:56 WIB

KPK Terima Dukungan Petisi Tolak Delik Korupsi Masuk KUHP

50 ribu dukungan petisi diserahkan koalisi masyarakat sipil kepada Ketua KPK.

Mantan Ketua KPK M. Jasin bersama Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua PP Pemuda Muhamadiyah Virgo Sulistyo Gohardi (dari kiri) memberikan petisi dukungan secara simbolis usai konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/6).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Ketua KPK M. Jasin bersama Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua PP Pemuda Muhamadiyah Virgo Sulistyo Gohardi (dari kiri) memberikan petisi dukungan secara simbolis usai konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima 50 ribu lebih petisi yang berasal dari Koalisi Masyarakat berisi penolakan masuknya pasal-pasal korupsi ke dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Petisi itu pada Selasa (5/6), diserahkan langsung kepada Ketua KPK Agus Rahardjo.

"Kita kedatangan mantan pimpinan KPK dan teman-teman dari koalisi masyarakat sipil, dan tadi saya sudah mendengarkan banyak hal yang disampaikan mengenai risiko masuknya korupsi ke RUU KUHP, kami ucapkan terima kasih atas dukungan yang begitu besar terhadap penguatan pemberantasan korupsi ke depan," kata Agus, di gedung KPK Jakarta.

Agus menerima sejumlah perwakilan koalisi masyarakat sipil antara lain Ketua Pimpinan Pusat Pemuda (PP) Muhammadiyah Virgo Sulianto Gohardi, peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar dan anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter serta mantan pimpinan jilid II KPK M Yasin. Petisi yang diserahkan berjudul "KPK dalam Bahaya, Tarik Semua Aturan Korupsi dari RKUHP!" yang hingga pukul 15.00 WIB sudah mendapatkan 50.308 dukungan.

"Menurut evaluasi sementara dari bagian ketiga Bab XXXVIII mengenai tindak pidana korupsi, pasalnya 687-696. Kalau RKUHP ini diundangkan seperti dalam pasal 723, maka dalam jangka waktu 1 tahun sejak KUHP dinyatakan berlaku, Buku Kesatu UU itu menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana di luar KUHP, artinya pemidanaan di dalam UU No 31/1999 jo No 20/2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang deliknya banyak, ini menjadi tidak berlaku lagi, artinya bahannya di situ," jelas Yasin.

Yasin mencontohkan tidak ada lagi pemidanaan mengenai menghalang-halangi proses penyidikan dan pemidanaan penegak hukum menjadi sama dengan bukan penegak hukum. Selain itu, denda pidana korupsi juga dikategorikan maksimal kategori IV yaitu maksimal Rp 150 juta bukan seperti UU Pemberantasan Tipikor yang mencapai Rp 1 miliar.

"Dari aspek pemidanaan tidak membuat jera dan dalam denda juga tidak menimbulkan pengembalian keuangan negara dari yang diambil dari pelaku korupsi. Maka kami mengusulkan KPK tetap memakai UU Pemberantasan Tipikor korupsi kejahatan luar biasa dan cara-cara penanggulangannya harus luar biasa," ungkap Yasin.

Sedangkan Ketua PP Muhammadiyah Virgo Sulianto Gohardi meminta agar pemerintah mengeluarkan korupsi dari RUU KUHP. "Ini momentum ujian komitmen Presiden terhadap pemberantasan Tipikor, jangan nambah raport merah Presiden terhadap pemberantasan korupsi, dan menambah panjang ketidakpercayaan kami ke Presiden," kata Virgo.

Sedangkan Erwin Natosmal Oemar meminta agar DPR tidak buru-buru mengesahkan RUU KUHP pada 17 Agustus 2018. Target pengesahan pada 17 Agustus 2018 sesuai dengan pernyataan sebelumnya oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo.

"Pada 17 Agustus 2018 nanti seharusnya pemerintah tidak memasukkan delik antikorupsi tapi mendorong revisi UU Pemberantasan Tipikor karena banyak kelemahan RUU KUHP," ungkap Erwin.

Sedangkan Lalola mengatakan bahwa ada ketidakjelasan alasan korupsi dimasukkan dalam RUU KUHP. Lalola mempertanyakan mengapa hanya 14 pidaha khusus, termasuk korupsi yang masuk ke RUU KUHP.

"Bila ada yang mengatakan akan menjamin independensi KPK sesuai dengan UU-nya dalam RUU KUHP ini, kami sulit percaya karena patut diduga tidak sebaik itu juga. Bisa jadi ini jalan yang memutar untuk merevisi UU KPK, kami berharap pembahasan terbuka, partisipatif dan akuntabel," tegas Lalola.

Meski didukung koalisi masyarakat sipil, Agus Rahardjo tidak menyampaikan solusi yang akan lembaganya ambil bila RUU KUHP yang memasukkan delik korupsi tetap disahkan pada 17 Agustus 2018 nanti.

"Sebaiknya memang Tipikor tidak masuk dalam RUU KUHP dan kajiannya kita sendiri di KPK sudah melakukan kajian cukup lama sejak 2015, kalau KPK menyarankan hari ini menolak korupsi masuk RUU KUHP, bukan sesuatu yang tiba-tiba karena sudah cukup lama dilakukan," ungkap Agus.

photo
Infografis Alasan KPK Tolak KUHP

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement