Kamis 07 Jun 2018 04:49 WIB

Raja Saudi Sudah ke RI, Kenapa Investor Timteng Masih Minim?

Investor Timur Tengah dinilai perlu mendapat beragam kemudahan.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Jokowi meninjau Kois Modern NU (Kimonu) yang berada di pondok pesantren Asshidiqqiyah 3, Kabupaten Karawang, Rabu (6/6).
Foto: Debbie Sutrisno/Republika
Presiden Jokowi meninjau Kois Modern NU (Kimonu) yang berada di pondok pesantren Asshidiqqiyah 3, Kabupaten Karawang, Rabu (6/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo mengaku akan fokus dalam menarik investasi dari negara-negara Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, dan Arab Saudi. Namun, menurut pengamat, keinginan tersebut dinilai perlu dibarengi dengan kemudahan bagi para investor.

Ekonom dari Institut for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto, mengatakan, dengan kunjungan Raja Salman pada tahun lalu, pemerintah sudah berharap banyak dari Timur Tengah. Namun, hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Menurut Eko, harus ada evaluasi mengenai hal-hal apa yang membuat ara investor dari Timur Tengah tertarik untuk investasi di Indonesia. Dari pengalaman kedatangan Raja Salman, kalkulasi potensi investasi sangat besar.

Hasil minyak di Timur Tengah dan harga minyak kembali membaik sehingga potensi dana dari negara tersebut sangat besar. Terlebih, para investor tersebut tergolong investor global yang sudah terbiasa berinvestasi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

"Kunci menarik mereka adalah kemudahan. Mereka tipikal investor yang tidak mau ribet. Semuanya harus disiapkan benar-benar, kita memberikan karpet merah," kata Eko saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (6/6)

Eko menjelaskan, walaupun para investor Timur Tengah mengetahui negara berkembang memiliki potensi besar, mereka tidak terbiasa melakukan studi kelayakan (feasibility study), memonitor perkembangan dan potensi ekonomi secara mandiri. Hal itu disebabkan bonus sumber daya alam di Timur Tengah. Sehingga, para investor tersebut masuk ke negara-negara yang memiliki daya saing seperti Amerika dan Eropa.

Sementara itu, Indonesia daya saingnya belum settle. Jika ingin menarik investasi, lanjutnya, pemerintah perlu menyiapkan kemudahan segala aspek. Misalnya, menyiapkan feasibility study mengenai potensi-potensi yang ditawarkan kepada investor.

"Selama ini hanya nawarin potensi, hanya gambar dan video, tapi tidak pernah lebih dalam seperti perkiraan invetasi berapa, potensi keuntungan berapa, proses perizinan seperti apa, tenaga kerja yang akan terserap dan sumber daya yang tesedia. Harus detail agar mereka mau investasi," katanya.

Eko memaparkan, tipikal investor dari negara Timur Tengah cukup berbeda dengan investor dari negara lain seperti Jepang. Investor Jepang justru melakukan feasibility study secara mandiri. Jika telah yakin, investor Jepang tersebut akan berinvestasi.

Eko menyatakan kemudahan-kemudahan tersebut harus dilakukan ,meskipun lebih susah dibandingkan mengundang investor lain seperi Jepang, AS, dan Cina. Sebab, potensi dana investor Timur Tengah besar.

Di samping itu, Indonesia dan Timur Tengah memiliki kedekatan lain, misalnya, dari sisi religi. Jamaah haji dari Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci lebih dari 200 ribu orang setiap tahun. "Kedekatan hubungan sudah dari dulu, tapi terkait investasi dan ekonomi belum. Hanya diplomasi-diplomasi nonekonomi. Kalau dikembangkan, bagus, tapi harus serius," ujarnya.

Dari sisi potensi, menurut dia, Indonesia punya banyak potensi yang bisa ditawarkan kepada negara-negara Timur Tengah. Salah satunya adalah pariwisata. Misalnya, di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mengembangkan pariwisata syariah. Sektor lainnya adalah perminyakan serta keuangan syariah.

Sektor keuangan syariah di Timur Tengah bisa berkembang karena modalnya besar. Perbankan di negara-negara tersebut memiliki sumber dana pihak ketiga (DPK) dari raja-raja minyak. Sementara itu, di Indonesia, DPK bank syariah jumlah rekeningnya banyak, tetapi kecil-kecil. Sehingga, tidak bisa dipakai untuk mendorong pembangunan infrastruktur.

Eko menambahkan, secara umum banyak negara yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, masalahnya daya saing Indonesia masih rendah. Meskipun sudah mendapat predikat investment grade, para investor dengan gampang keluar masuk. Hal itu disebabkan stabilitas makro dibangun lebih karena investasi portofolio. Stabil karena banyak dana asing masuk, tetapi tidak stabil karena bisa keluar masuk dengan mudah.

 

Presiden Jokowi menjelaskan, dia sudah bertemu dengan Putra Mahkota Uni Emirat Arab Syekh Mohammed, Raja Salman dari Arab Saudi, dan Syekh Tamim dari Qatar. Dari pertemuan tersebut, para petinggi negara ini belum banyak berinvestasi di Indonesia karena Pemerintah Indonesia sejak lama tidak pernah bersilaturahim dengan negara tersebut.

Bahkan, para menterinya pun disebut tidak pernah melakukan pertemuan guna mengundang investor. "Setelah itu saya perintahkan kepada menteri agar setiap tiga bulan harus muter ke negara-negara itu karena itu adalah negara-negara yang kaya, uangnya berlebihan," ujar Jokowi di hadapan ratusan alim ulama di Ponpes Asshiddiqiyah, Rabu (6/6).

Jokowi menilai bahwa masyarakat saat ini terlalu dibelok-belokkan dengan isu investasi dari Cina yang sangat besar. Padahal, masih banyak negara lain yang juga berinvestasi sama besarnya.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement