Kamis 07 Jun 2018 13:37 WIB

KPK Ingin Menghadap Presiden Jokowi Bahas Revisi KUHP

KPK masih dalam posisi menolak delik korupsi masuk KUHP.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Ekspresi Ketua KPK Agus Rahardjo saat memberikan keterangan pers bersama sejumlah pegiat antikorupsi yang tegabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi di gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/6).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Ekspresi Ketua KPK Agus Rahardjo saat memberikan keterangan pers bersama sejumlah pegiat antikorupsi yang tegabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi di gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengungkap rencana KPK yang ingin menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam pertemuan tersebut, KPK ingin membahas delik tindak pidana korupsi yang dimasukkan dalam Rancangan Undang undang Revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU RKUHP).

Menurut Agus, KPK masih dalam posisinya menolak delik tersebut diatur dalam RUU RKUHP. "Kita masih seperti dalam posisi itu ya, ya kita kalau diizinkan berkomunikasi dengan bapak presiden langsung ya," ujar Agus saat ditemui di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/6).

Agus menilai perlu pertemuan dengan Presiden, mengingat Presiden sebagai Pemerintah sebagai pembuat Undang undang bersama dengan DPR. Namun demikian, Agus belum dapat memastikan waktu rencana pertemuan tersebut.

"Belum tahu, kan kita harus ngikutin jadwalnya Bapak Presiden juga," kata Agus.

Ia sendiri enggan berspekulasi jauh saat ditanyai kemungkinan Jokowi mendukung sikap KPK soal penolakan delik korupsi di RKUHP tersebut. "Ya belum tentu, nanti kita jelaskan," katanya.

Sebelumnya, KPK keberatan delik korupsi diatur dalam R-KUHP. Bahkan, KPK sudah menyampaikan surat keberatan itu kepada Pesiden, Ketua Panja RKUHP DPR, dan Kemenkumham.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menyebut terdapat sejumlah persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam KUHP. Pertama, tentang kewenangan kelembagaan KPK karena Undang-Undang KPK menentukan bahwa mandat KPK itu adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.

"Itu tegas, jadi kalau nanti masuk di dalam KUHP Pasal 1 Angka 1 itu, Undang-Undang KPK apakah masih berlaku atau tidak? Apakah bisa KPK menyelidik, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi karena itu bukan Undang-Undang Tipikor lagi tetapi undang-undang dalam KUHP," kata Syarif saat konferensi pers di Gedung KPK RI, Jakarta, Rabu.

Sementara itu, kata dia, di dalam RKUHP itu tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga KPK. "Itu tidak disebutkan juga apakah di dalam RKUHP itu sekarang tetap disebutkan kewenangan lembaga KPK, bahkan terus terang sampai hari ini draf akhir dari RKUHP itu saya belum miliki, sudah diminta tetapi selalu berubah-ubah walaupun saya ikuti terus tetapi bahwa ini draf terakhir finalnya yang akan diserahkan ke DPR belum saya lihat juga wujudnya," tuturnya.

Selain itu, terjadi perbedaan jarak atau disparitas ketentuan UU Tindak Pidana Korupsi dengan pasal-pasal yang ada di dalam RKUHP. "RKUHP tidak mengatur tindak pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Padahal, ini penting banget karena kalau denda itu biasanya terlalu sedikit kalau selama ini mendapatkan pengembalian aset itu dapat dengan uang pengganti, tetapi di dalam RKUHP tidak dikenali," kata Syarif.

photo
Infografis Polemik Revisi KUHP

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement