REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson mendesak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melakukan penyelidikan independen terkait tewasnya lebih dari 120 warga Palestina di Jalur Gaza. Hal ini disampaikan Johnson ketika bertemu Netanyahu di London pada Rabu (6/6).
Dalam pertemuannya, Johnson mengatakan mengecam ancaman serangan rudal terhadap Israel oleh gerilyawan di Gaza. Kendati demikian, Inggris tetap mencemaskan tewasnya lebih dari 120 warga Palestina di sana.
"Kami sangat prihatin dengan kematian lebih dari 120 warga Palestina dalam beberapa pekan terakhir dan situasi yang memburuk di Gaza," katanya, dikutip laman The Times of Israel.
Oleh sebab itu, Johnson menilai Israel perlu menyelidiki insiden tersebut. "Ada kebutuhan bagi Israel untuk melakukan penyelidikan yang transparan dan independen terhadap hilangnya lebih dari 120 jiwa Palestina selama protes di Gaza baru-baru ini, termasuk 10 ribu korban luka," ujar Johnson.
Sebelum bertemu Johnson, Netanyahu telah membahas tentang situasi di Gaza dengan Perdana Menteri Inggris Theresa May. Netanyahu mengatakan kepada May bahwa situasi kemanusiaan yang mengerikan di Gaza dipicu oleh keinginan kelompok perlawanan Hamas untuk menghancurkan Israel.
"Kami tidak menyaksikan protes damai. Selain membakar ladang kami, orang-orang ini dibayar dan didorong Hamas untuk measuk ke pertahanan Israel, membunuh sebanyak mungkin orang Israel, tepat di sebalah perbatasan kami, dan menculik tentara kami," kata Netanyahu.
"Ini bukan protes tanpa kekerasan, tapi justru sebaliknya. Kami melakukan segala yang kami bisa untuk meminimalkan korban, dan pada saat yang sama melindungi kehidupan Israel," ujar Netanyahu menambahkan.
Pernyataan Netanyahu tersebut merupakan tanggapan atas reaksi May terhadap eskalasi di perbatasan Gaza-Israel dalam beberapa pekan terakhir. May mengatakan Inggris benar-benar mengakui hak Israel untuk membela diri dari ancaman gerilyawan di Gaza.
"Tapi dengan 100 nyawa warga Palestina yang hilang dan situasi yang memburuk di Gaza, saya berharap kita bisa berbicara tentang bagaimana kita dapat meringankan situasi itu dan memastikan bahwa kita dapat kembali ke posisi di mana kita dapat menemukan jalan untuk membicarakan solusi dua negara," kata May.
Sebelumnya, yakni pada Selasa (5/6), Netanyahu telah bertemu Presiden Prancis Emmanuel Macron. Sama seperti May, Macron menyatakan kekhawatirannya atas eskalasi di perbatasan Gaza-Israel dalam beberapa pekan terakhir.
Menurutnya kejadian di perbatasan Gaza-Israel sangat mengancam potensi perdamaian. "Kami mengutuk kekerasan terhadap warga sipil, termasuk kekerasan Hamas. Prancis ingin menjadi bagian dari solusi untuk krisis kemanusiaan di Gaza," ujar Macron.
Ia menyatakan masih mendukung kerangka solusi dua negara untuk Palestina dan Israel. Meskipun gagasan solusi dua negara mulai disangsikan setelah Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel oleh Amerika Serikat (AS) pada Desember tahun lalu.
Lebih dari 120 warga Palestina telah tewas dan puluhan ribu lainnya luka-luka akibat diserang pasukan keamanan Israel. Ini merupakan jumlah korban tewas dan luka secara keseluruhan sejak warga Palestina di Jalur Gaza menggelar aksi demonstrasi di perbatasan Israel pada akhir Maret lalu.
Dalam aksinya massa menuntut Israel mengembalikan desa-desa yang telah direbut dan didudukinya seusai Perang Arab-Israel tahun 1948 kepada ratusan ribu pengungsi Palestina. Selain itu, mereka pun mengecam keputusan AS memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel ke Yerusalem.