REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menanggapi informasi adanya masjid-masjid di DKI Jakarta yang menjadi tempat penyebaran paham radikal. Ia mengatakan, data soal masjid-masjid di DKI yang dianggap radikal itu sebaiknya tidak dibeberkan. Dalam hal ini, ia menekankan pemerintah untuk melakukan langkah yang cepat dan bijaksana.
Ia meminta agar pemerintah menyelesaikan masalah dengan musyawarah dan tidak hanya dengan menggunakan pendekatan kekuasaan. "Jangan memvonis suatu masjid radikal atau tidak. Gubernur bisa langsung mengundang silaturahim atau dialog tertutup tentang pentingnya menjaga kerukunan sebagai tugas dan tanggung jawab bersama," kata Mu'ti saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (7/6).
Mu'ti menuturkan, sampai saat ini tidak ada definisi yang baku tentang radikal dan radikalisme. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan agama, radikal memiliki beberapa karakteristik. Pertama, jika memahami teks agama secara tekstual dan atomistik. Hal itu jika teks agama dipahami sebagaimana bunyi teksnya dengan tidak melihat konteks dan hubungannya dengan ayat yang lainnya.
Misalnya, ayat yang berbunyi: "Dan perangilah orang-orang kafir itu di mana saja mereka berada sampai hilang fitnah dalam kehidupan." Jika ayat tersebut dimaknai secara tekstual, yang terjadi adalah pembunuhan dan kekerasan.
Padahal, kata Mu'ti, ayat itu berkaitan dengan konteks dalam peperangan. Dalam situasi perang, tidak boleh mundur atau menyerah sebelum bertempur, walaupun risikonya dalam peperangan itu seseorang terpaksa membunuh musuh.
Kedua, menganggap bahwa dalam beragama hanya ada satu pendapat yang benar dan yang lainnya semua salah. Ketiga, pandangan bahwa pendapat orang lain yang dianggap salah (batil) itu harus dijauhkan, dihapuskan, atau diubah dengan segala macam cara, termasuk dengan kekerasan.
Akibat dari hal tersebut, kelompok radikal bersikap intoleran dan ekslusif terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda. Keempat, menolak eksistensi negara-bangsa dan menentang hukum yang berlaku karena dianggap buatan manusia. "Jika Alquran dan sunah dipahami secara utuh, tidak akan terjadi radikalisme," katanya melanjutkan.
Misalnya, soal tidak boleh memilih pemimpin kafir. Mu'ti mengatakan, Alquran mengingatkan agar dalam memilih pemimpin yang diutamakan adalah mereka yang memiliki kapasitas, integritas, dan moralitas. Hal itu, menurut dia, penekanannya terletak pada perilaku, bukan pada agama. Akan tetapi, karena yang dibaca hanya ayat-ayat tertentu, soal kemampuan dalam kepemimpinan diabaikan. Walaupun tidak memilih, ia mengimbau hal itu bukan berarti tidak boleh bergaul dengan mereka yang kafir, apalagi sampai menyakiti atau membunuh.
Baca: BNPT Sudah Tahu 40 Masjid Diduga Sebar Paham Radikal
"Silakan jika tidak mau memilih, tetapi jangan mencaci-maki, membenci, apalagi menyakiti. Manusia hendaknya saling menolong dengan siapa pun. Ini perintah Alquran. Sayang sekali ayat-ayat tentang kelembutan dan kasih sayang jarang sekali disampaikan dibandingkan dengan ayat-ayat tentang kekerasan dan permusuhan," ujarnya.
Dalam hal tindakan radikal, ia mengatakan bahwa siapa pun yang melanggar hukum harus ditindak secara hukum. Menurut dia, pemerintah dalam hal ini tidak boleh pandang bulu karena agama, partai, atau suku. Ia menegaskan bahwa tidak ada ajaran agama Islam yang mengajarkan kebencian. "Jadi tidak, ada tempat bagi radikalisme dalam beragama," katanya.
Sebelumnya pada pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan para cendekiawan Muslim di Istana Negara, Senin (4/6) lalu, cendekiawan Muslim Azyumardi Azra menyampaikan, terdapat sekitar 40 masjid di wilayah DKI yang memberikan ceramah mendekati radikalisme. Menurut dia, penceramah di dalamnya justru mengajarkan paham radikal dan intoleran.
Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno juga menyebut ada puluhan masjid di Ibu Kota yang menjadi tempat penyebaran paham radikal. Ia mengatakan, data tentang masjid-masjid tersebut terdapat di Biro Dikmental dan BAZIS DKI.