Jumat 08 Jun 2018 05:03 WIB

Musim OTT Kepala Daerah di Tengah Pilkada Biaya Tinggi

PDIP tidak akan memberi bantuan hukum kader terjaring OTT.

Polisi berjaga di depan rumah dinas Wali Kota Blitar saat sejumlah penyidik KPK melakukan penggeledahan di Blitar, Jawa Timur, Kamis (7/6).
Foto: Antara/Irfan Anshori
Polisi berjaga di depan rumah dinas Wali Kota Blitar saat sejumlah penyidik KPK melakukan penggeledahan di Blitar, Jawa Timur, Kamis (7/6).

REPUBLIKA.CO.ID   Oleh: Fauziah Mursid, Dian Fath Risalah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan pada Rabu (6/6). Kali ini operasi senyap dilakukan di Jawa Timur, yakni di Kota Blitar dan Kabupaten Tulungagung.

Ini adalah operasi tangkap tangan kedua di pekan ini setelah pada Senin (4/6) kemarin dilakukan di Kabupaten Purbalingga. Selama sepekan, dua kepala daerah yang diusung PDI Perjuangan terjaring operasi KPK.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Jatim, KPK berhasil mengamankan empat orang, termasuk Wali Kota Blitar, Muhammad Samanhudi Anwar. Penangkapan kepala daerah ini menjadi penangkapan ketujuh KPK sepanjang 2018.

KPK menilai pelaksanaan pemilihan kepala daerah membuat calon kepala daerah maupun kepala daerah terpilih melakukan korupsi. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengakui memang semakin banyak penangkapan kepala daerah maupun calon kepala daerah yang terjerat korupsi menjelang pilkada serentak 2018.

"Soal OTT, kalau kita mendapatkan laporan dan bukti permulaan yang cukup dan memang itu kita tidak bisa biarkan itu," ujar Syarif saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/6).

Laode menuturkan, banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi lantaran sistem pilkada yang memakan biaya tinggi. Hal itu juga yang memungkinkan calon kepala daerah mengeluarkan uang besar untuk pencalonannya. "Itu juga yang kita harapkan, jangan terlalu memaksakan diri juga," kata Syarif.

Hingga Kamis (7/6) malam, seluruh pihak yang diamankan dalam operasi KPK di Jawa Timur masih dalam perjalanan ke gedung KPK di Jakarta. "KPK membawa empat orang dari kegiatan di Jawa Timur, yaitu: Wali Kota (Blitar), Kadis PU (Tulung Agung) dan swasta," tutur Kabiro Humas KPK Febri Diansyah.

Menurut Febri, hasil dari kegiatan selama 24 jam, termasuk stasus hukum dari pihak-pihak yang diamankan, akan diumumkan melalui konferensi pers KPK. KPK, sambung Febri, menduga adanya transaksi proyek-proyek infrastruktur yang ada di dua daerah tersebut. "Jadi, ada beberapa proyek peningkatan jalan dan juga ada salah satu proyek terkait sekolah."

Dalam operasi senyap tersebut, tim juga mengamankan uang di lokasi yang dimasukkan dalam dua kardus dengan pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. "Masih dalam proses penghitungan secara pasti ya. Itu tadi estimasinya sekitar lebih dari Rp 2 miliar yang diamankan dan tim masih terus melakukan pendalaman-pendalaman informasi di lapangan," kata Febri.

PDIP memastikan, tidak akan memberi bantuan hukum kepada kepala daerah yang juga kader PDIP yang terjaring operasi senyap KPK. Sebelum wali kota Blitar, kader PDIP yang juga Bupati Purbalingga Tasdi terjaring OTT KPK, Senin (4/6) kemarin.

Ketua Bidang Hukum PDIP Trimedya Panjaitan menuturkan, selain tidak mendapatkan bantuan hukum, kader yang terjaring OTT akan langsung dipecat. Menurut Trimedya, PDIP tidak memberi toleransi kadernya yang kedapatan korupsi, apalagi terkena operasi tangkap tangan KPK.

Sebab, menurut Trimedya, setiap OTT KPK telah memiliki minimal dua alat bukti yang cukup untuk setiap pihak yang dijerat KPK. "Karena, kita percaya kalau OTT itu KPK punya cukup dua alat bukti. Kedua, juga selama ini tidak ada yang lolos dari OTT," ujar Trimedya.

Anggota Komisi III DPR itu mengatakan, jika pun ada tersangka yang mengajukan praperadilan, KPK dapat kembali menetapkan tersangka kepada yang bersangkutan jika gugatannya menang. "Sehingga itu ketua umum (Megawati Soekarnoputri) berpikiran dua tahun terakhir ini, dua hal itu yang kita mintakan. Satu, pemecatan seketika, dua, saya sebagai ketua bidang hukum diminta tidak memberi bantuan hukum\" kata Trimedya menegaskan.

Trimedya mengatakan, PDIP selalu mengingatkan kadernya, baik di legislatif maupun eksekutif, untuk menjauhi korupsi. Namun, hal ini ternyata tidak diindahkan oleh beberapa oknum kader. "Kita terus-menerus dan mengingatkan, termasuk ketua umum. Tapi, itu yang kita katakan itu, walaupun persentasenya tidak didominasi oleh PDIP," ujarnya.

Ia juga menyinggung sistem demokrasi yang membuat biaya pilkada menjadi sangat tinggi sehingga memaksa pihak mengeluarkan ongkos politik besar dan berakibat pada korupsi setelah menjabat. "Kalau ongkos politiknya terlalu tinggi seorang menjadi bupati gubernur, dari mana lagi dia mencari ininya. Orang tentu menghabiskan puluhan ratusan miliar untuk itu," ujarnya.

Kepala Daerah yang Diamankan KPK 2018

1. Wali Kota Blitar (Jawa Timur) Muhammad Samanhudi Anwar (PDIP), Rabu (6/6).

Terkait kasus dugaan proyek infrastruktur.

2. Bupati Purbalingga (Jawa Tengah) Tasdi (PDIP), Senin (4/6).

Terkait kasus dugaan pengadaan barang di Pemkab Purbalingga.

3. Bupati Buton Selatan (Sulawesi Tenggara) Agus Feisal Hidayat (PDIP), Rabu (23/5).

Terkait kasus dugaan janji proyek di Pemkab Buton.

4. Bupati Lampung Tengah (Lampung) Mustafa (Nasdem), Kamis (15/2).

Terkait kasus dugaan suap terhadap wakil ketua dan anggota DPRD Lampung.

5. Bupati Subang (Jawa Barat) Imas Aryumningsih (Golkar), Selasa (13/2).

Terkait kasus dugaan suap perizinan penggunaan lahan oleh perusahaan.

6. Bupati Ngada (NTT) Marianus Sae (PDIP), Ahad (11/2).

Terkait kasus dugaan suap pembangunan jalan.

7. Bupati Jombang (Jawa Timur) Nyono Suharli (Golkar), Sabtu (3/2).

Terkait kasus dugaan suap perizinan pengurusan jabatan Pemkab Jombang.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement