REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menegaskan, sejak awal pihaknya telah menolak pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di TNI AU 2016-2017. Selain itu, pesawat yang semula diperuntukkan untuk presiden itu juga ditolak sendiri oleh Presiden Joko Widodo lantaran nilainya sangat mahal.
"Jadi begini yah itu pesawat untuk pesawat presiden. Uangnya masuk ke Seskab bukan ke saya. Presiden kan tidak mau karena mahal, nah itu kita tidak mau," ujarnya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/6).
Itu disampaikan Ryamizard menyusul pernyataan mantan kepala staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Purnawirawan Agus Supriatna usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi Rabu (6/6) kemarin. Ia mengatakan, persoalan helikopter tersebut tidak akan terjadi jika pemangku kepentingan terkait mau duduk bersama.
Menurut Ryamizard, setelah Kemenhan menolak pengadaan dan presiden juga menolak pengadaan, selanjutnya, pengadaannya dialihkan ke TNI. "Jadi dialihkan untuk renstra TNI ini masalah itu," ucapnya.
Namun Ryamizard enggan berkomentar lebih jauh soal pengadaan helikopter yang diambil alih oleh TNI tersebut. Begitu pun saat ditanya alasan TNI tetap memaksakan pengadaan helikopter meskipun sudah ditolak oleh Presiden. Ryamizard juga sependapat jika helikopter tersebut diambil alih oleh TNI, semestinya TNI mengajukan spesifikasi terlebih dahulu.
"Betul. Kan awalnya bukan untuk (TNI), (tapi) untuk presiden," katanya.
Baca juga: Mantan KSAU: Kenapa Ramai Saat Saya Pensiun?
Sebelumnya usai menjalani pemeriksaan di KPK terkait kasus korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101, mantan KSAU Marsekal TNI Purnawirawan Agus Supriatna mengaku heran karena kasus tersebut ramai setelah dirinya pensiun. Agus menilai, permasalahan pengadaan Helikopter AW-101 seharusnya tak perlu dibuat gaduh seperti saat ini. Menurutnya ada pihak yang kurang memahami UU APBN dan mekanisme anggaran APBN.
"Sebetulnya dariawal dulu saya tidak mau bikin gaduh, bikin ribut permasalahan ini. Karena AW-101 ini harusnya teman-teman juga tahu, coba tanya kepada yang membuat masalah ini tahu tidak UU APBN. Tahu tidak mekanisme anggaran APBN itu seperti apa. Kalau tahu tidak mungkin melakukan hal ini," tegasnya.
Namun, ia enggan mengungkapkan siapa pihak lain yang membuat gaduh itu. Agus juga menyebut pihak lain tersebut tidak begitu memahami peraturan Menteri Pertahanan dan Peraturan Panglima dalam pengadaan barang di TNI.
"Yang kedua, tahu tidak peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 Tahun 2011. Kalau tahu, tidak mungkin juga melakukan ini dan ada juga Peraturan Panglima Nomor 23 tahun 2012, kalau memang tahu, tidak mungkin juga melakukan hal ini," tambah Agus.
Seharusnya, lanjut Agus, permasalahan pengadaan ini bisa diselesaikan dengan cara duduk bersama. "Sebenarnya ini semua tuh bisa duduk bersama. Duduk bersama level-level Menteri Pertahanan, Panglima TNI yang sebelumnya, saya, kita duduk bersama. Kita pecahkan bersama di mana sebetulnya masalahnya ini, jangan masing-masing merasa hebat, merasa benar karena punya kekuasaan," tutur Agus.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Irfan Kurnia Saleh yang merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri sebagai tersangka dari unsur swasta. Irfan Kurnia Saleh diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI AU Tahun 2016-2017.
Akibatnya, diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar. Irfan Kurnia Saleh disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, POM TNI sendiri telah menetapkan lima tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI Angkutan Udara Tahun 2016-2017. Lima tersangka itu, yakni anggota TNI AU yaitu atas nama Kolonel Kal FTS SE sebagai Kepala Unit Pelayanan Pengadaan, Marsekal Madya TNI FA yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa, Letkol admisitrasi WW selaku pejabat pemegang kas atau pekas, Pelda (Pembantu letnan dua) SS staf pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, dan Marsda TNI SB selaku asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara.