REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Menumbuhkan kebiasaan berpuasa bagi anak-anak di mana Islam merupakan minoritas menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga Muslim dengan latar belakang multikultur menjalani puasa Ramadhan di Australia.
Bagi keluarga Murray Hier, bagian terbaik selama Ramadhan adalah kesempatan untuk memperkuat ikatan hubungan orang tua dan anak. "Bagi saya, bagian terbaik Ramadhan tahun ini adalah menjadi kepala keluarga dengan dua anak remaja, yaitu bagaimana menjadi teladan bagi mereka," ujar Murray yang akrab disapa Dul.
Murray menikah dengan wanita asal Indonesia Mediyanti H Hier dan dikaruniai dua anak yang kini beranjak remaja, Lila dan Kaka. Sejak beberapa tahun terakhir, mereka bermukim di Melbourne.
Hal yang sama diakui oleh Lami Hopman, wanita asal Indonesia yang menikah dengan pria Australia Jason Hopman dan juga dikaruniai dua anak, Javier dan Zayn.
"Setiap akhir pekan saya selalu berusaha mengajak anak-anakku ke masjid untuk berbuka dan tarawih," kata Lami kepada wartawan ABC Farid M Ibrahim.
Tujuannya, kata Lami, agar anak-anaknya bisa merasakan Ramadhan sebagai bulan istimewa bagi umat Islam. "Membesarkan anak di negara non-Muslim memang menantang namun sangat memuaskan," katanya.
Dul yang mulai berpuasa Ramadhan pada 2003 ketika tinggal di Kota Darwin, kini bekerja di sektor konstruksi yang sangat dinamis. Kesibukan membuat waktu terasa cepat berlalu.
"Tantangannya bagi saya yaitu saat istirahat makan siang serta saat berupaya untuk tiba di rumah tepat waktu berbuka," katanya.
Menurut Dul, rekan-rekan kerjanya umumnya paham tentang Ramadan, dan yang tidak tahu pun biasanya akan bertanya. "Jika ada yang tanya mengenai puasa, biasanya saya menjelaskan secara sederhana saja. Yaitu tidak makan dan minum sejak terbit sampai tenggelamnya matahari serta diskusi mengenai perbedaan waktu berpuasa di berbagai negara," ujarnya.
Selama Ramadan, Dul menjalani rutinitas kerjanya seperti biasa. Dia masuk kantor Pukul 7 pagi dan pulang Pukul 4.30 sore agar bisa tiba di rumah untuk buka puasa.
"Saya selalu senang kalau pulang ke rumah untuk buka puasa dan penasaran dengan apa yang sudah menunggu," ujarnya.
Dul menyukai menu-menu tradisional Indonesia seperti kolak, cincau, dan es buah.
"Minggu ini ada yang spesial, pallu butung," katanya tentang makanan khas Makassar yang berupa pisang rebus dengan kuah tepung santan.
Sementara bagi Lami yang bekerja pada sekolah Islam Miraret College di pinggiran Kota Melbourne, rutinitas kerjanya berjalan biasa kecuali bahwa waktu pulang dimajukan satu jam lebih awal. "Jam sekolah selesai Pukul 2.35 pm, satu jam lebih awal dari biasanya. Ini memudahkan orangtua murid menjemput anak-anaknya dan mempersiapkan buka puasa bagi keluarganya," kata Lami.
Karena bekerja di sekolah Islam, Lami tidak perlu repot menjelaskan apa itu Ramadan dan mengapa dia berpuasa kepada rekan-rekan kerjanya.
Dul dan keluarganya pernah tinggal di Jakarta, sehingga mereka kerap kali merindukan suasana Ramadan di sana. "Budaya Indonesia membuat Ramadan jadi spesial," kata Dul. "Tahun ini di Melbourne, puasa terasa sepi dan personal dalam keluarga sendiri, dengan sesekali bertemu teman-teman." Dul teringat berbagai hal yang mungkin tampak sepele bagi warga Muslim di Indonesia.
"Panggilan untuk membangunkan sahur, bau makanan sahur dan buka puasa. Penjual makanan di mana-mana," katanya.
Dul juga teringat suasana ngabuburit, mudik, dan perayaan idul fitri dengan takbiran sepanjang malam. "Makanannya pun enak, ketupat dan opor ayam serta favorit saya yaitu kue-kue kering dan nastar," ujarnya.
Sementara bagi Lami yang asal Jakarta, sudah beberapa tahun tidak pulang ke Indonesia di saat lebaran. Lami pun merasakan kerinduan pada suasana Ramadhan di Indonesia dengan segala kegembiraannya.