REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar (MSA) dan Bupati Tulungagung Syahri Mulyo (SM) sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek infrastruktur jalan dan sekolah.
Keduanya ditetapkan menjadi tersangka setelah operasi tangkap tangan untuk dua perkara di kedua wilayah tersebut. Namun, hingga kini keduanya masih belum diketahui keberadaannya.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, setelah melakukan pemeriksaan 24 jam pertama dan dilanjutkan gelar perkara, disimpulkan adanya tindak pidana korupsi. Ada penerimaan hadiah atau janji terkait pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Tulungagung. Hal yang sama juga terjadi di Blitar pada tahun anggaran 2018. "Menetapkan SM dan MSA sebagai tersangka penerima suap," kata Saut, Jumat (8/6) dini hari.
KPK juga menetapkan tersangka untuk perkara di Tulungagung, yakni sebagai penerima suap adalah Sutrisno (SUT), Kadis PUPR Pemkab Tulungagung, dan seorang pihak swasta Agung Prayitno. Sementara itu, untuk perkara Blitar, KPK menetapkan seorang pihak swasta Bambang Purnomo sebagai penerima suap.
Untuk pemberi suap di kedua kasus korupsi tersebut adalah orang yang sama, yakni seorang kontraktor Susilo Prabowo. Sehingga, total enam orang dijadikan tersangka dalam dua kasus korupsi ini.
Saut mengukapkan, Susilo Prabowo adalah salah satu kontraktor yang sering memenangkan proyek Pemkab Tulungagung sejak 2014 sampai 2018. Untuk perkara di Tulungagung, diduga pemberian suap dari Susilo untuk Bupati Tulungagung melalui Kadis PUPR sebesar Rp 1 miliar terkait proyek infrastruktur peningkatan jalan pada Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung.
"Diduga pemberian ini adalah pemberian ketiga . Sebelumnya Bupati diduga telah menerima pemberian pertama Rp 500 juta dan pemberian kedua Rp 1 miliar," kata Saut.
Sementara itu, untuk perkara di Blitar, sambung Saut, diduga Wali Kota Blitar menerima pemberian dari Susilo melalui Bambang senilai Rp 1,5 miliar terkait izin proyek pembangunan sekolah lanjutan pertama di Blitar dengan nilai kontrak Rp 23 miliar.
"Fee ini diduga bagian dari delapan persen yang menjadi bagian untuk Wali Kota dari total fee 10 persen yang disepakati, sedangkan dua persennya akan dibagi-bagikan kepada dinas," kata Saut.
Dalam operasi tangkap tangan di dua perkara ini, tim KPK mengamankan uang di lokasi yang dimasukkan dalam dua kardus dengan pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. "Uang sebanyak Rp 2,5 miliar yang diamankan, bukti transaksi perbankan dan catatan proyek," ujarnya.
Saut mengungkapkan, meskipun sudah menjadi tersangka, dua kepala daerah tersebut belum diketahui keberadaannya. Saat melakukan operasi senyap, tim penindakan KPK mengamankan lima orang, yakni Susilo, Bambang, Sutrisno, Agung, dan AND istri dari Susilo. "Petugas tidak bertemu dengan dua kepala daerah tersebut," ucap Saut.
Baca juga, Ruang Kerja Wali Kota Blitar Disegel KPK.
KPK, lanjut Saut, mengimbau keduanya agar menyerahkan diri ke KPK. Hal senada diungkapkan Kabiro Humas KPK Febri Diansyah. Menurut dia sempat beredar informasi ada keinginan keduanya untuk menyerahkan diri. Namun, sampai saat ini keduanya masih belum menyerahkan diri.
"Kami mengimbau agar dua kepala daerah ini bersikap kooperatif dan menyerahkan diri pada KPK. Jadi, kalau ada perbedaan informasi sebelumnya (Wali Kota Blitar ikut dibawa ke gedung KPK) maka ini yang disampaikan karena ini sudah setelah hasil ekspose dan kemudian pemeriksaan juga sudah berjalan, termasuk juga status hukum dari enam orang sudah kami proses saat ini," kata Febri.