REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik berpendapat, pemerintah perlu mengungkap kebenaran kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Setelah terdapat hasil penyidikan dari Jaksa Agung, maka Komnas HAM menyarankan agar pemerintah memberikan pernyataan kepada masyarakat Indonesia terkait kasus ini.
Hal ini disampaikan Komnas HAM saat bertemu dengan Presiden Jokowi yang didampingi Menkumham Yasonna Laoly, Jaksa Agung M Prasetyo, Kepala KSP Moeldoko, Mensesneg Pratikno, dan LPSK di Istana Presiden.
"Setelah itu, kemudian ada upaya rekonsiliasi maupun rehabilitasi terhadap korban maupun keluarganya," kata Taufan di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Jumat (8/6).
Menurut dia, pembentukan DKN dapat dilakukan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Kendati demikian, karena Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006, maka Taufan menilai kasus pelanggaran HAM di Indonesia hanya dapat diselesaikan dengan kebijakan politik dari Presiden.
"Tapi UU KKR sudah dibatalkan oleh MK, maka dengan demikian, satu-satunya peluang adalah dengan kebijakan politik dari Presiden," ujar dia.
Dalam kesempatan ini, Komnas HAM juga meminta Presiden untuk mereformasi tata kelola lembaga tersebut. Yakni dengan merevisi UU Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26/2000.
"Selain itu juga mengeluarkan perpres menyangkut birokrasi Komnas HAM yang menurut kita perlu ditingkatkan kinerjanya," kata Taufan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto bersama tokoh masyarakat telah membahas peraturan presiden pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Dalam rapat tersebut, juga dibahas terkait anggota DKN yang beranggotakan sebanyak 17 orang.