REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Komunikasi Politik, Effendi Ghazali, mengatakan pemerintah harus menjawab berbagai spekulasi soal mundurnya Yudi Latif sebagai Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sebab, peran serta Yudi dalam menjalankan tugasnya di BPIP tidak bisa dipandang remeh.
Effendi menyebutkan sejumlah spekulasi yang muncul, seperti tidak tahan terhadap tekanan menjadi birokrat, mundur karena persoalan anggaran belum turun, atau apakah Yudi sendiri mulai tidak yakin dengan apa yang sudah dilakukannya.
"Pemerintah punya tugas untuk menjawab, jangan sampai tiga spekulasi tadi naik jadi latar belakang mundurnya Yudi Latif. Sebab, lembaga ini (BPIP) adalah lembaga yang penting. Apakah orang-orang di BPIP yakin atau tidak apa yang sedang dilakukannya?" kata dia kepada wartawan di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (9/6).
Effendi mengatakan semua pihak harus menghormati Yudi, termasuk alasan mundur karena keluarga. Akan tetapi, di saat yang sama, mundurnya Yudi menyisakan rasa kehilangan.
“Beliau selama ini adalah tokoh yang banyak bekerja dan menulis soal Pancasila," kata dia.
Menurut dia, peran dan kinerja Yudi harus betul-betul dihargai. Karena itu, Effendi menilai wajar jika banyak pihak yang membuat spekulasi latar belakang kemundurannya tersebut.
Di sisi lain, ia berpendapat, bangsa Indonesia tidak bermasalah soal ideologi Pancasila. "Yang menjadi permasalahan dasar adalah implementasinya, yakni terhadap kesejahteraan masyarakat atau bidang lain," kata Effendi.
Sebelumnya, Yudi mengumumkan pemunduran dirinya dari jabatan sebagai kepala BPIP. Yudi beralasan dirinya mundur agar adanya penyegaran kepemimpinan baru di BPIP.
Yudi adalah pejabat kepala BPIP sejak 7 Juni 2017, ketika lembaga tersebut masih bernama Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). UKP-PIP kemudian bertransformasi menjadi BPIP sejak 28 Februari 2018.
Yudi mengundurkan diri terhitung sejak Kamis (7/6), tepat setahun sejak dirinya dilantik menjadi kepala BPIP. Guru besar yang pernah belajar di Universitas Padjadjaran dan Universitas Nasional Indonesia ini mengatakan setelah setahun berjalan, BPIP baru menghabiskan anggaran senilai Rp 7 miliar.