REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota Blitar, Muhammad Samanhudi Anwar dan Bupati Tulung Agung Syahri Mulyo sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek infrastruktur jalan dan sekolah yang ada di Blitar dan Tulung Agung. Keduanya ditetapkan menjadi tersangka setelah operasi tangkap tangan untuk dua perkara di kedua wilayah tersebut.
Keduanya juga diketahui merupakan politisi PDI Perjuangan dan memiliki pengaruh yang kuat di daerah yang dipimpinnya. Berdasarkan lembaran Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada https://acch.kpk.go.id/, yang dilihat Republika.co.id pada Senin (11/6) kedua kepala daerah tersebut telah memiliki harta kekayaan miliaran rupiah. Samanhudi tercatat memiliki harta Rp 8,5 miliar dan Syahri sebesar Rp 1,1 miliar.
Tetapi, harta mereka laporkan bukan merupakan LHKPN terbaru saat menjabat menjadi kepala daerah. Untuk LHKPN Samanhudi, ia laporkan ketika masih menjabat Ketua DPC PDIP Kota Blitar. Dalam LHKPNnya ia tercatat memiliki 14 bidang tanah yang tersebar di Kota Blitar dan Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Nilai asetnya itu mencapai Rp 4,5 miliar. Samanhudi hanya memiliki mobil Toyota tahun pembuatan 1967 senilai Rp 15 juta.
Selain itu, ia memiliki usaha penyewaan lapangan futsal yang nilainya mencapai Rp 6,5 miliar. Selain itu, ia memegang giro dan setara kas sejumlah Rp 244,2 juta. Namun, ia juga tercatat memiliki utang sebesar Rp 2,7 miliar.
Sementara itu, Syahri dalam LHKPN yang terakhir dilaporkan pada 1 Oktober 2012, tercatat memiliki harta tak bergerak berupa tanah senilai Rp 789,3 juta. Calon Bupati Tulungagung 2018-2023 itu juga memiliki kendaraan bermotor, di antaranya empat unit motor dan empat unit mobil berbagai merek senilai Rp 762,5 juta.
Syahri juga memiliki pertanian senilai Rp 3 juta dan logam mulia sebesar Rp 30 juta. Ia pun memegang giro senilai Rp 214,6 juta. Sama seperti Samanhudi, Syahri juga memiliki utang sebesar Rp 654 juta.
Selain dua kepala daerah tersebut, KPK juga menetapkan tersangka lainnya untuk perkara di Tulung Agung yakni sebagai penerima suap adalah Sutrisno (SUT) Kadis PUPR Pemkab Tulung Agung dan seorang pihak swasta Agung Prayitno. Sementara untuk perkara Blitar, KPK menetapkan seorang pihak swasta Bambang Purnomo sebagai penerima suap. Untuk pemberi suap di kedua kasus korupsi tersebut adalah orang yang sama yakni seorang kontraktor Susilo Prabowo, sehingga total enam tersangka dalam dua kasus korupsi ini.
Susilo Prabowo adalah salah satu kontraktor yang sering memenangkan proyek Pemkab Tulung Agung sejak 2014 sampai 2018. Untuk perkara di Tulung Agung, diduga pemberian suap dari Susilo untuk Bupati Tulung Agung melalui Kadis PUPR sebesqr Rp 1 miliar terkait proyek infrastruktur peningkatan jalan pada Dinas PUPR kabupaten Tulung Agung. Pemberian ini diduga merupakan yang ketiga kalinya. Sebelumnya Bupati diduga telah menerima pemberian pertama Rp 500 juta dan pemberian kedua Rp 1 Miliar.
Sementara untuk perkara di Blitar, diduga Wali Kota Blitar menerima pemberian dari Susilo melalui Bambang senilai Rp 1,5 miliar terkait izin proyek pembangunan sekolah lanjutan pertama di Blitar dengan nilai kontrak Rp 23 miliar. Komisi tersebut diduga bagian dari delapan persen yang menjadi bagian untuk Wali Kota dari total komisi 10 persen yang disepakati. Sedangkan, dua persennya akan dibagi bagikan kepada Dinas.
Dalam operasi tangkap tangan di dua perkara tersebut tim KPK mengamankan uang di lokasi yang dimasukkan dalam dua kardus dengan pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. Uang sebanyak Rp 2,5 miliar yang diamankan, bukti transaksi perbankan, dan catatan proyek.
Adapun kepada yang diduga sebagai penerima Syahri, Agung, Sutrisno, Samanhudi, dan Bambang disangkakan melanggar pasal 12 huruf a dan pasal 12 huruf b, atau pasal 11 dalam Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1. Sementara kepada yang diduga pemberi, Susilo dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.