Senin 11 Jun 2018 22:37 WIB

Pembelot: Trump Didesak Akhiri Perbudakan di Korut

Korut peringkat negara terburuk di dunia dalam prevalensi Indeks Perbudakan Global

Presiden AS Donald Trump (kiri) dan Presiden Korea Utara Kim Jong-un (kanan).
Foto: The Star Online
Presiden AS Donald Trump (kiri) dan Presiden Korea Utara Kim Jong-un (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Presiden Amerika Serikat Donald Trump harus menekan Pyongyang untuk mengakhiri perbudakan dan kerja paksa negara, kata pembelot Korea Utara menjelang pertemuan bersejarah di antara pemimpin kedua negara itu. Dengan perkiraan 1,1 juta orang -atau satu dari 20 warga- hidup dalam perbudakan, Korea Utara menduduki peringkat negara terburuk di dunia dalam prevalensi Indeks Perbudakan Global 2016 oleh kelompok hak asasi Walk Free Foundation.

Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dijadwalkan pada Selasa melakukan pertemuan pertama oleh pemimpin kedua negara itu, dengan fokus pada senjata nuklir Pyongyang dan perdamaian di Semenanjung Korea. Pembelot dan juru kampanye mengatakan pertemuan puncak di Singapura harus menyoroti pelanggaran hak asasi manusia.

"Ini bukan waktunya untuk fokus pada senjata nuklir. Ini saatnya untuk fokus pada bagaimana Korea Utara menindas rakyatnya," kata Yeonmi Park, pembelot, kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon dari New York, tempat dia sekarang tinggal.

Yeonmi diperkosa dan jatuh ke tangan pedagang manusia setelah dia menyeberang ke Cina pada tahun 2007 pada usia 13 tahun. Dia berkampanye melawan perdagangan pengantin Korea Utara ke Cina, dan menceritakan penderitaannya dalam memoar 2015 yang berjudul "In Order to Live".

Banyak orang Korea Utara terperangkap di kamp-kamp penjara di dalam negeri, atau dikirim ke luar negeri sebagai buruh budak untuk mendapatkan penghasilan yang sangat dibutuhkan bagi negara yang terisolasi itu.

PBB mengatakan pada tahun 2015 bahwa Korea Utara telah memaksa 50.000 orang untuk bekerja di luar negeri, terutama di Rusia dan Cina, dengan penghasilan antara 1,2 miliar hingga 2,3 miliar dolar setiap tahun untuk pemerintah.

Aliansi Eropa untuk Hak Asasi Manusia di Korea Utara mengatakan bahwa Pyongyang menggunakan "budak yang disponsori negara" untuk menghasilkan pendapatan dengan menghindari sanksi internasional atas program senjata nuklirnya.

Para buruh biasanya bekerja shift antara 10 hingga 12 jam, dan hingga 90 persen dari gaji mereka dikirim kembali ke Korea Utara, menurut kelompok itu. "Jika (Trump dan Kim) tidak berbicara tentang masalah hak asasi manusia, saya khawatir mungkin akan ada lebih banyak lagi yang meninggal karena penyiksaan di masa depan," kata Jihyun Park, seorang pembelot yang kini tinggal di Manchester, di Inggris barat laut.

Jihyun yang berusia 49 tahun dan tidak terkait dengan Yeonmi, dijual ke Cina sebagai pengantin wanita, tetapi kemudian ditangkap dan dideportasi kembali ke Korea Utara. Dia dikirim ke kamp penjara, di mana dia dan yang lain bekerja tanpa alas kaki, bertani di daerah pegunungan dari fajar hingga senja.

"Banyak orang masih tidak tahu keadaan di Korea Utara," kata Jihyun, direktur penjangkauan di Connect North Korea, kelompok pendukung pengungsi, yang melarikan diri dari negara itu dan kini tinggal di Inggris.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement