REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Timur Tengah Abdul Muta'ali menyayangkan pertemuan Yahya Cholil Staquf dengan Yayasan Yahudi di Israel pada Ahad (10/6) waktu setempat. Menurut Muta'ali, Staquf secara langsung atau tidak langsung telah merusak jalan diplomasi erat yang telah digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Pertemuan Yahya Staquf ini tidak produktif terhadap respons Indonesia yang konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina, pada saat yang bersamaan terjadi pembunuhan yang waktunya paralel dilakukan tentara Israel sekarang. Apalagi sudah keluar kecaman atas pertemuan (Staquf) tersebut dari pihak Hamas dan Fatah," kata Muta'ali.
Direktur Pusat Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia ini mengingatkan, walaupun Staquf membantah pertemuannya bukan atas nama pemerintah dan ormas, perlu diingat posisi Staquf tidak bisa dilepaskan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Ia pun baru dilantik pada akhir Mei lalu dan juga merupakan Khatib Aam PBNU.
Karena itu, menurut dia, wajar apabila dua faksi, Hamas dan Fatah, mengecam keras pertemuan Yahya Staquf ini. "Ketika ada seorang tokoh ormas dan juga pejabat pemerintahan di Indonesia, saya kira ini bukan hanya menyakitkan Indonesia, tapi juga membuat malu Indonesia di mata Internasional," katanya menegaskan.
Baca Juga: Fatah dan Hamas Kecam Yahya Staquf Hadiri Undangan Israel
Ia mengingatkan hubungan diplomatik yang kuat dengan Palestina selama ini telah dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi. Kepercayaan besar Palestina kepada Indonesia menjadi kunci Indonesia dipercaya oleh negara-negara Muslim memegang posisi penting lobi di dunia internasional.
Saat ini, papar Muta'ali, dunia--bukan hanya di negara-negara Muslim--sepakat apa yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina adalah kebiadaban kemanusiaan. Banyak negara barat mengakui itu. Bahkan, tokoh-tokoh internasional menolak bekerja sama dengan Israel karena kebiadaban kemanusiaan yang dilakukan tentara Israel.
"Dunia sudah cukup melihat apa yang dilakukan Israel melanggar hak asasi manusia (HAM). Seperti merampas tanah warga Palestina, menggusur pemukiman warga Palestina, hingga nembak tenaga paramedis, dan membunuh anak-anak dan para remaja," ujarnya.
Menurut dia, pada kondisi sekarang, dunia sudah tidak percaya setiap negosiasi damai yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat untuk Israel dan Palestina. Artinya, semua langkah negosiasi damai Israel dan Palestina oleh AS dan lembaga internasional selama ini terbukti telah gagal dan tidak mampu menemukan titik temu.
"Apalagi sekadar tawaran dari seorang Staquf ingin mengubah pandangan Israel," kata Muta'ali.
Sayangnya, jelas dia, dalam pertemuan Yahya Staquf itu juga tidak berbicara soal kepercayaan masyarakat dunia internasional atas solusi dari kemerdekaan dua negara ini. Staquf justru lebih banyak berbicara soal Gus Dur dan internal ormas PBNU yang menurut dia sangat tidak relevan dengan perkembangan dan kondisi di Palestina saat ini. "Jadi, pertemuan Staquf di saat ini memang tidak produktif, baik bagi hubungan dengan Israel atau Palestina sekalipun," katanya.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI Mahyuddin Junaidi melihat Yahya Staquf justru melukai perasaan komunitas Islam karena dilakukan ketika konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza dalam beberapa bulan terakhir. Terlebih, kini konflik telah menewaskan ratusan warga sipil di pihak Palestina.
"Kalau tujuannya dengan alasan ingin menciptakan perdamaian, mengubah konflik menjadi kerja sama, itu pernyataan absurd yang kedaluwarsa dan tidak tepat sasaran," ujarnya.
Menurut dia, Barat dan dunia Arab telah berupaya panjang mengubah pandangan dan sikap Israel untuk solusi dua negara. Namun, langkah itu pun terbukti gagal, apalagi hanya dilakukan oleh seorang Yahya Staquf.
PBNU membantah bila Yahya Staquf ke Israel atas nama organisasi. Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini menegaskan, undangan oleh Yayasan Yahudi Amerika di Israel kapasitasnya sebagai pribadi, bukan ormas NU atau Wantimpres.