REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Rektor terplih Universitas Brawijaya (UB) Malang, Prof Nuhfil Hanani mempertanyakan penyematan status UB sebagai 'Kampus Teroris' yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum lama ini. Karena, ia menganggap UB masih memegang nilai-nilai universitas.
Anggapan atau pun upaya-upaya untuk mengidentifikasi Universitas Brawijaya sebagai kampus teroris patut kami pertanyakan karena sampai saat ini UB masih memegang teguh dan terus mengupayakan nilai-nilai yang menjadi karakter khas universitas ini," kata Nuhfil di Malang, Jawa Timur, Rabu (13/6).
Nuhfil tidak memungkiri adanya kegiatan-kegiatan ilegal yang mengarahkan civitas akademika mengikuti gerakan radikalisme dan itu bisa saja terjadi di berbagai tempat, termasuk di dalam kampus. "Namun, kita harus memiliki data akurat tentang apa penyebab terjadinya gerakan radikalisme di kampus, bagaimana cara penyebarannya, dan bagamaina cara mengatasi gerakan radikalisme tersebut," ujarnya.
Dan, kata Nuhfil, perlu digarisbawahi bahwa UB merupakan salah satu kampus besar di Indonesia yang mempunyai karakter khas. Karakter khas ini secara jelas termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan UB Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Mutu.
Standar mutu UB merupakan paduan seimbang dan serasi antara nilai ketuhanan, keindonesian dan kebhinnekaan paradigma dengan semangat kewirausahaan nusantara. Dengan karakter khas ini, UB memegang teguh semangat nasionalisme.
Karakter khas yang dipegang teguh oleh UB memberikan pengertian mendasar bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari nilai ketuhanan dan kebangsaan akan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara Indonesia. Lebih lanjut, Nuhfil mengemukakan UB telah melakukan pengamatan dan deteksi dini terhadap isu radikalisme tersebut dan hasil pengamatan di lapangan ditemukan ada dua faktor penyebab radikalisme di dalam kampus, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Menurut Nuhfil, faktor pertama terjadinya seseorang ikut dalam gerakan radikal dan menjadi teroris adalah faktor internal dari dalam diri pelaku, yakni kondisi psikologis pelaku. Kondisi psikologis yang tidak stabil, seperti stres dan depresi akibat tuntutan hidup dan terbelit pada kesulitan ekonomi serta masa lalunya. Seseorang yang kondisi psikologisnya tidak stabil, katanya, akan dengan mudah dipengaruhi oleh paham yang berkiblat pada terorisme.
Seseorang yang sedang labil akan cenderung mudah didekati secara personal oleh para agen teroris. Biasanya diawali dengan mengajak orang itu pada kelompok pengajian kecil atau halaqoh. Media ini digunakan oleh para agen sebagai tempat curhatnya orang yang sedang labil, sehingga orang tersebut merasa nyaman dan memiliki teman untuk berbicara.
Sedangkan faktor eksternal, lanjutnya, lunturnya nilai-nilai kebangsaan, kesenjangan ekonomi, pemahaman keagamaan yang keliru, ada doktrin jihad dari luar masuk ke Indonesia, dan sentimen emosional ingin ikut jihad setelah melihat adanya penindasan kaum muslim di berbagai negara seperti di Palestina, Suriah, dan Afganistan. Untuk menangkal radikalisme di kampus, UB memiliki empat cara, di antaranya profilling civitas akademika untuk mengetahui pandangan dosen, tenaga administrasi dan mahasiswa mengenai paham radikal sebagai langkah awal untuk menentukan model pendampingan kepada civitas akademika.
"Profilling ini penting untuk menentukan langkah ke depan sekaligus menentukan model pendampingan," ucapnya.