REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat telekomunikasi Onno W Purbo menilai Indonesia harus membayar denda sebesar 20 juta dolar Amerika Serikat (AS) sesuai putusan sidang kasus satelit melawan Avanti Comm di Pengadilan Arbitase Inggris.
"Intinya itu bayar dulu. Ini masalah kepercayaan (asing)," kata dia kepada Republika, Rabu (13/6).
Dengan demikian, ia mengatakan dunia internasional tak memandang miring pada Indonesia terkait urusan sewa-menyewa satelit itu. Kementerian Pertahanan Indonesia kalah dalam perkara arbitrase melawan Avanti Comm dalam kasus satelit. Spacenews pada Jumat (8/6) memberitakan Avanti Comm memenangkan sidang arbitrase soal satelit yang mengharuskan Indonesia membayar 20 juta dolar AS kepada perusahaan itu.
Kementerian Pertahanan Indonesia meminjam satelit pada Avanti Comm sejak November 2016. Hal itu dilakukan untuk mencegah hilangnya hak spektrum L-band di slot orbit 123 derajat BT. Indonesia harus membayar sewa 30 juta dolar AS untuk relokasi Satelit Artemis.
Namun, Indonesia disebut lalai membayar sewa Satelit Artemis milik Avanti Comm yang berbasis di Inggris itu. Selama ini, slot orbit 123 derajad BT tersebut ditempati satelit Indonesia, Garuda-1 yang sudah beroperasi selama 15 tahun. Satelit tersebut berhenti beroperasi pada 2015 lalu.
Onno menyebut semua jenis telekomunikasi membutuhkan satelit, tidak hanya masalah pertahanan. Namun, apabila menyangkut pertahanan, maka jaringannya harus sampai ke desa-desa.
Hal itu menguntungkan apabila ada kondisi darurat, seperti bencana alam. Satelit memungkinkan untuk melakukan komunikasi dengan kondisi infratruktur rusak.
Onno mengatakan ada dua jenis komunikasi yang gampang untuk menjangkau kondisi darurat, yakni satelit dan radio genggam. Namun, radio genggam tidak bisa digunakan untuk mengirim data maupun mengakses internet.
"Yang bisa untuk data, itu satelit, jadi mau nggak mau harus pake satelit," ujar dia.
Onno mengatakan permasalahan ini berhubungan dengan kedaulatan bangsa. Apabila Indonesia tak mau tergantung dengan bangsa lain, maka harus punya satelit sendiri.
"Kalau sewa, kayak gitu, kalau lupa dianggarkan (untuk membayar sewa), berabe. Mending punya satelit," kata Onno.
Terkait biaya, ia menyebut setidaknya pemerintah harus menyiapkan dana Rp 6 triliun, masing-masing, Rp 3 triliun untuk dinaikkan ke atas dan Rp 3 triliun untuk perawatan di bawah.
Ia mengatakan beberapa waktu lalu, BRI meluncurkan satelit ke luar angkasa. Berdasarkan informasi yang ia peroleh, ada beberapa yang menganggur. Menurut Onno, itu bisa digunakan untuk masalah pertahanan.
"Dari pada nganggur, bisa negosiasi dengan BRI. Ini masalah kedaulatan, jangan sampai kita tergantung. Paling enak punya satelit sendiri," tutur dia.