Kamis 14 Jun 2018 11:08 WIB

Kawali Tolak Badan Reklamasi, Ini Alasannya

Kawali menilai badan dibentuk untuk memuluskan kembali proyek reklamasi.

Rep: Fergi nadira/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Tanda Penyegelan terlihat disalah satu bangunan di Reklamasi Pulau D, Teluk Jakarta, Kamis (7/6).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Tanda Penyegelan terlihat disalah satu bangunan di Reklamasi Pulau D, Teluk Jakarta, Kamis (7/6).

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Kawal Lingkungan Indonesia (Kawali) menegaskan, proyek reklamasi di teluk Jakarta sudah cacat sejak dalam proses penyusunan dari sisi amdal dan bangunan fisiknya. Terlebih lagi pembangunan pulau reklamasi terindikasi akan dimulai kembali, ditandai dengan keluarnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 58 tahun 2018 dengan dimulainya membentuk badan khusus untuk menangani reklamasi Teluk Jakarta.

"Kawali menilai rencana melanjutkan pembangunan bangunan di pulau reklamasi di Teluk Jakarta cacat hukum, dan tidak dapat diteruskan pembangunan reklamasi berikut rencana bangunannya, kami menolak," ujar Direktur Eksekutif Kawali Puput TD Putra pada Kamis (14/6).

Puput menduga hal tersebut bagian dari skenario besar politik untuk mendapatkan keuntungan dalam melakukan transasional kebijakan di pesisir Jakarta. Menurut dia, terdapat tiga hal yang dikejar oleh pemerintah, di antaranya, proyek Giant Sea Wall (GSW)/NCICD/Tanggul Raksasa yang hanya menjadi sarana melempar tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengelola Teluk Jakarta.

Meskipun GSW merupakan proyek dari Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisdane (BBWSCC), patut diduga ini merupakan skenario yang komprehensif dengan rencana Pemprov DKI untuk memuluskan proyek reklamasi. "Atau bahasa lainnya siasat memuluskan reklamasi, di mana proyek reklamasi dan NCICD merupakan proyek besar pemerintah DKI dan pemerintah pusat, dalam hal ini Bappenas RI yang saling terintegritas agenda proyeknya rReklamasi dan Giant Sea Wall)," ujarnya.

Proyek reklamasi pulau palsu (Teluk Jakarta) dan Giant Sea wall sepanjang 42 kilometer yang sama seperti lintasan Karawang, Bekasi, Jakarta, dan Banten, kata dia, terkesan tidak ada aspek memertimbangkan lingkungan dan hak asasi manusia (HAM). Dalam hal ini juga tidak mempertimbangkan keberadaan nelayan yang terancam ruang hidup dan wilayah kelolanya.

"Hilangnya Teluk Jakarta dan pesisir akan mengusir nelayan secara halus," ujarnya.

Kawali menduga pemaksaan cara halus ini dengan membuat badan koordinasi reklamasi, atas nama pemerintah akan merestui dan melanjutkan pembangunan pulau reklamasi. Agenda pembentukan badan dan dikeluarkannya pergub baru serat dengan agenda politik transaksional serta merupakan satu rangkaian proyek pesanan dari berbagai kepentingan pengembang tanpa memedulikan dampaknya.

"Kawali mengingatkan kembali kepada gubernur terpilih akan janji kampanyenya untuk menghentikan permanen reklamasi Teluk Jakarta dan tidak akan melanjutkan reklamasi kembali. Janji tolak reklamasi ini harus Anis-Sandi penuhi," ujarnya.

Kawali juga mengingatkan kepada tim kerja dan tim percepatan pembangunan Gubernur Anis-Sandi agar lebih jeli dan ketat mengawal agenda tolak reklamasi Anis-Sandi ini. "Kami juga mengimbau kepada tim kerja Anis-Sandi agar tidak genit dan main-main dalam membuat peryataan-pernyataan dan agenda-agenda terkait reklamasi Teluk Jakarta," katanya menambahkan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement