REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan, tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 yang disalurkan kepada aparatur sipil negara (ASN) dapat mendorong konsumsi rumah tangga.
Perry menjelaskan, bukti THR yang disalurkan pemerintah itu mendorong konsumsi terlihat pada hasil Survei Konsumen dan Survei Penjualan Eceran yang diterbitkan Bank Indonesia. Survei Penjualan Eceran mengindikasikan pertumbuhan penjualan eceran yang lebih tinggi. Hal itu tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang tumbuh 4,0 persen (yoy) pada April 2018, meningkat dari 2,5 persen (yoy) pada Maret 2018.
Sementara, Survei Konsumen mengindikasikan peningkatan optimisme konsumen pada Mei 2018. Hal itu tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Mei 2018 sebesar 125,1 lebih tinggi dibandingkan dengan 122,2 pada bulan sebelumnya.
"Dan kalau bulan depan ada tambahan gaji itu akan mendorong ekonomi kita di kuartal berikutnya," kata Perry kepada wartawan di Jakarta, akhir pekan lalu.
Peningkatan konsumsi tersebut biasanya diiringi dengan peningkatan impor. Perry menambahkan, memang pada kuartal kedua impor lebih tinggi karena musiman. Sehingga meskipun ekspornya naik kemungkinan impornya naik.
Selain itu, beberapa waktu lalu terjadi tekanan nilai tukar rupiah antara lain karena permintaan untuk membayar impor, utang luar negeri (ULN) dan repatriasi tinggi di samping tekanan dari eksternal.
"Jadi saya sampaikan kondisi ekonomi Indonesia cukup baik dan cukup kuat," tegasnya.
Kondisi ekonomi Indonesia saat ini diklaim lebih kuat dibandingkan pada saat dulu krisis Yunani pada 2014 dan keluarnya Inggris dari Euro atau Brexit pada 2016. Kondisi ekonomi Indonesia yang dinilai jauh lebih kuat tersebut antara lain tercermin dari inflasi rendah sebesar 3,23 persen (yoy) pada Mei 2018, pertumbuhan ekonomi cukup baik sebesar 5,06 persen pada kuartal pertama 2018, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) meskipun naik tapi jauh lebih rendah dari 2013. Selain itu, kondisi perbankan juga dinilai cukup kuat, serta cadangan devisa (cadev) lebih dari cukup.
"Sehingga masalahnya adalah tekanan dari sisi global. Ini memang perubahan arah kebijakan moneter di AS dan Eropa itu cepat sekali berubah," imbuhnya.